Kala Reformasi masih jadi embrio dan mulai "meletus" di tahun 1998, gaung kalimat potong satu generasi ini menjadi sedemikian akrabnya di telinga kami para aktivis.
Kebetulan saya lulus SMA pada tahun 1995 dan sangat merasakan betul atmosfir dari gaungan kalimat potong satu generasi itu, karena di masa itu saya masih kuliah di tahun pertama.
Di masa itu pula saya memilih Drop Out dari bangku kuliah, tepatnya di semester tiga, akibat gejolak yang ditimbulkan dari mulai pra reformasi hingga paska reformasi.
Namun, kalimat "sakti" di era itu dalam perjalanannya dari tahun ke tahun hingga melewati dua dekade seperti luntur kehilangan makna kesaktiannya.
Sedih? Tentu, karena saya dan banyak teman di era itu yang "tidak kebagian jatah kursi parlemen atau pemerintahan" makin merindukan keterwujudannya.
Kata "tidak kebagian..." jangan di salah artikan bahwa kami benar-benar sangat ingin, tentu tidak serta merta demikian karena masih banyak kawan-kawan seangkatan saya yang berjiwa murni dan terus berikhtiar dalam mewujudkannya.
Saya menjadi bagian dari itu dan ingin terus mewujudkannya lewat pemahaman "subliminal message" di setiap karya baik itu di film ataupun tulisan-tulisan seperti artikel ini.
Potong satu generasi memang cara ideal untuk memperbaiki kondisi negeri yang Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) nya ini sudah menjadi budaya.
Tidak enak memang dan mungkin akan ada yang protes, tapi bagi saya, biarkan saja. Karena faktanya memang demikian bukan?
Silahkan pertanyakan dengan jujur nurani Anda, kebenaran atau salahnya mengenai pendapat saya tersebut.
Setidaknya, saya sangat berani berbeda pendapat dengan Anda yang menolak bahwa KKN sudah menjadi budaya baru bangsa ini.