Jika dilihat sejak kapannya saya menulis skenario sehingga dibilang sebagai penulis skenario, mungkin sejak kelas 6 SD. Dan ketika saya ceritakan ini, entah di status media sosial, ataupun secara langsung, maka pujian pun mengalir.
Mereka tidak pernah tahu (atau malah tak ingin tahu) proses saya menjadi penulis skenario di kala itu seperti apa. Intinya semua yang saya lakukan sesungguhnya hanyalah modal nekat saja, sekadar mencoba, lama-lama jatuh cinta.
Kini saya pun hidup sebagai penulis skenario, kalau kata para Wibu dan anak muda sekarang, menulis skenario adalah jalan ninjaku.
Sampai segitunya ya?
Ya, karena sejak tahun 2013, 90 persen penghasilan saya di dapat dari menulis skenario untuk televisi dan film.
Wah, duitnya banyak dong? Nah...ini nih, pertanyaan yang seringkali menganggu karena seolah segala sesuatunya itu dapat diukur dan terukur oleh uang semata.
Buat saya, menjadi penulis, khususnya sebagai penulis skenario itu harus memiliki panggilan jiwa. Passion ya mungkin bahasa kerennya.
Sepintas, dan memang itu juga sih faktanya, penulis skenario di Indonesia ini belumlah banyak, jika diukur dari tingkat kebutuhan industrinya.
Menulis skenario itu tidak hanya untuk film yang tayang di bioskop ataupun tayangan sinetron di televisi. Konten-konten Youtube, ataupun digital platform lainnya seringkali juga membutuhkan jasa menulis skenario.
Selain dari masalah konten, di zaman digital ini, film bisa dinikmati pula di ponsel dengan begitu banyaknya digital platform yang menyediakan layanan pemutaran film dalam beragam bentuknya.
Jadi, jika dilihat dari sudut pandang ini, tentu menjadi penulis skenario itu asyik dan enak, karena ladang cuannya sedemikian luas.