Gaya hidup minimalis semakin mendapatkan perhatian di era modern, terutama di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan kesejahteraan.
Bagi banyak orang, hidup minimalis bukan sekadar tren sementara, tetapi menjadi solusi yang signifikan untuk menghadapi stres yang sering muncul dari pola hidup konsumtif.
Namun, apa sebenarnya hidup minimalis, dan mengapa banyak yang merasa terinspirasi untuk mengadopsinya?
Secara sederhana, hidup minimalis adalah gaya hidup yang berfokus pada hal-hal esensial, membebaskan diri dari barang-barang atau aktivitas yang tidak membawa kebahagiaan atau makna.
Prinsip utama dari gaya hidup ini adalah "lebih sedikit lebih baik." Namun, minimalisme tidak hanya sebatas jumlah barang yang dimiliki, melainkan juga tentang bagaimana seseorang memprioritaskan hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup.
Marie Kondo, seorang pakar decluttering yang terkenal, memopulerkan konsep ini melalui filosofi "spark joy," yaitu menyimpan hanya benda-benda yang membawa kebahagiaan.
Filosofi serupa diterapkan oleh Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus, penulis dan pencipta The Minimalists, yang menekankan bahwa minimalisme adalah alat untuk mencapai kebebasan dari beban fisik dan emosional yang menghalangi kebahagiaan.
Pakar kesehatan mental menyebut bahwa gaya hidup minimalis dapat memberikan dampak besar bagi kesejahteraan seseorang.
Rumah yang rapi, misalnya, dapat menciptakan rasa tenang dan mengurangi kecemasan. Barang yang berlebihan di lingkungan kita sering kali berkontribusi pada perasaan kewalahan dan stres.
Psikolog Dr. Sherrie Bourg Carter menyebutkan bahwa kekacauan dan kepadatan barang di rumah dapat memicu stimulasi sensorik yang berlebihan, membuat otak sulit fokus.
Dengan mempraktikkan minimalisme, otak kita mendapat ruang untuk beristirahat dan berkonsentrasi pada hal-hal yang berarti. Ini meningkatkan produktivitas dan membawa rasa damai.