Lihat ke Halaman Asli

Dimas Jayadinekat

Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Di Hari Guru Sedunia Ini Saya Bertanya, di Manakah Dikau Guru yang Menampar Pipi Ini?

Diperbarui: 5 Oktober 2024   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Karolina Kaboompics: https://www.pexels.com/photo/close-up-of-a-person-solving-and-equation-on-a-blackboard-6256253/ 

Ternyata hari ini, Sabtu, (5/10/2024) merupakan Hari Guru Sedunia. Hal itu saya temukan di status WhatsApp kawan yang sekarang menjadi seorang guru di sebuah SMK.

Hari Guru sedunia ini lingkupnya internasional, namun tentu tidak mengurangi keterikatannya dengan setiap guru yang ada di Indonesia, setidaknya, profesi ini sungguh wajib dimuliakan.

Menurut wikipedia, Hari Guru Sedunia ini baru mulai diperingati secara internasional sejak tahun 1994, yang bertujuan untuk memberikan dukungan kepada para guru di seluruh dunia dan meyakinkan mereka bahwa keberlangsungan generasi pada masa depan ditentukan oleh mereka.

Saya sangat setuju dengan hal itu, guru adalah penentu keberlangsungan generasi di masa depan. Bahkan saya hari ini, di segala kebaikan yang telah saya lakukan, ada jerih payah guru-guru mulia semasa sekolah sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

Sebagai dedikasi awal sebelum membahas guru-guru yang menurut saya "paling" mengubah serta memberikan titik balik, tentu guru SD yang mengajari saya membaca, yaitu Ibu Rubinah.

Beliau adalah guru yang dikenal tegas dan galak, namun jika tidak seperti itu, tentu saya tidak akan bisa membaca, karena berbeda dengan sekarang, di masa saya sekolah dulu, belajar membaca baru ditekankan saat kelas 1 SD.

Karena jasanya saya jadi anak yang sangat gemar membaca, meski juga tidak terlalu menjadi seorang "kutu buku", tapi bacaan apapun selalu saya jadikan landasan serta referensi di dalam melangkah di kehidupan ini.

Kemudian di SMP ada dua nama guru Bahasa Indonesia yang teringat, Ibu Mastiur Barimbing dan almarhum bapak Sadjiman. Dengan gayanya masing-masing, saya mulai mencintai bahasa Indonesia karena di usia itulah, saya mulai bercita-cita menjadi penulis.

Pak Sadjiman lebih terkenang karena mengajar di kelas 3 dan guru yang mendukung saya untuk membentuk "ekskul" teater, meski beliau menasihati bahwa lebih baik fokus saya di kelas 3 adalah mempersiapkan ujian akhir.

Dan memang akhirnya ekskul tidak jadi berdiri meski didukung oleh ratusan adik kelas, di kelas 1, karena saya dan sahabat meminta mereka tanda tangan di sebuah "petisi" yang akhirnya diberikan ke almarhum.

Sampai kemudian di SMA, saya temui guru Bahasa Indonesia yang asyik, Ibu Erika. Saat itu tentunya, beliau masih muda,  cantik, ramah dan sangat dekat dengan muridnya. Meski kadang juga dibilang "galak".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline