Trauma atau luka di dalam jiwa adalah sesuatu yang sulit dihilangkan, kira-kira itulah anggapan orang awam atau bahkan mereka yang sedang menderitanya.
Saya pun rasanya sulit untuk menerima jika tidak mengetahui sendiri lewat pengalaman pribadi atau orang lain dari berbagai sumber bacaan.
Bahkan, sahabat orang tua saya, beberapa tahun lalu secara langsung memberikan testimoni yang menyangkut tentang kedahsyatan menulis.
Ia yang ketika itu dikategorikan sudah berusia lanjut, menyatakan dirinya sembuh dari penyakit parkinson setelah menulis dan menerbitkan banyak buku.
Karena "orang jadul" ia menulisnya pun tidak menggunakan komputer, melainkan tulis tangan dan kemudian disalin ke dokumen penulisan di Komputer oleh asistennya.
Kemudian, saya sendiri merasakan, dengan menulis segala apa yang terpikirkan dan terlihat, ternyata itu sangat membantu saya untuk terlepas dari overthinking.
Bahkan, baru-baru ini, saya yang menderita hipertensi, saat kontrol ke dokter terakhir kemarin, sudah berangsur normal. Setidaknya setelah serangkaian kontrol berbulan-bulan, akhirnya dianggap stabil.
Dan apa yang saya lakukan? Menulis. Saya menulis status facebook dan juga menulis novel di digital platform, kemudian yang terakhir menulis di kompasiana.com. Kebetulan job menulis skenario sedang tidak ada, jadi, saya hanya berprinsip harus menulis setiap hari.
Apakah apa yang saya rasakan serta sahabat orang tua saya rasakan dan banyak orang rasakan itu sebuah kebetulan belaka? Ternyata tidak.
Menurut James Pennebaker, PhD, dari University of Texas di Austin, Amerika Serikat, yang saya kutip dari artikel di laman American Psychological Assosiation (APA), menulis dapat menjadi alat yang ampuh untuk membantu orang mengatasi tantangan dalam hidup mereka dan meningkatkan kesehatan mental.
Ia juga membahas penelitiannya tentang penggunaan bahasa, dan bagaimana menganalisis kata-kata yang digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari dapat memberikan wawasan tentang emosi, motivasi, dan kepribadian mereka.