Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan sudah terlihat cukup pesat di Amerika, Rusia, Eropa, China, dan di negara-negara besar lainnya. Tidak jarang negara-negara tersebut memamerkan kemajuan berbagai teknologi mereka yang berbasis AI, mulai dari mobil tanpa pengemudi/mobil robotik, pendeteksi penyakit, pembawa acara berita AI, hingga tank robot dan jet tempur yang memakai AI. Sundar Pichai (CEO Google), Vladimir Putin (Presiden Rusia), Joko Widodo , dan berbagai tokoh internasional lainnya telah mengakui betapa pentingnya penguasaan AI di era digital ini.
Meski setelah ditunjukkan berbagai penerapannya di berbagai bidang kehidupan, semakin banyak pula pihak yang mempertanyakan, bahkan mengkhawatirkan perkembangan yang tak terhentikan dari AI. Elon Musk, alm. Stephen Hawking, Steve Wozniak (co-founder Apple), dan berbagai figur ternama lainnya di bidang IPTEK telah menaruh perhatian serius mereka kepada pengawasan terhadap penelitian dan pengembangan teknologi ini. Kekhawatiran dan ketakutan mereka tentulah beralasan ilmiah. Dengan penggunaan AI yang semakin berkembang, AI tidak hanya memiliki potensi yang besar untuk kemajuan dan kebaikan, namun juga risiko yang besar untuk kerusakan dan kejahatan.
Sumber : Ban Lethal Autonomous Weapons, autonomousweapons.org
Penggunaan AI dapat disalahgunakan oleh berbagai pihak. Senjata dan peralatan militer berteknologi AI, atau sistem persenjataan yang dapat memilih hingga menumpas target secara mandiri, berisiko tinggi menambah jumlah korban dan memperparah tingkat kerusakan dalam operasi militer maupun pemberantasan teroris. Dalam pidatonya pada Majelis Umum PBB ke-73, Antonio Guterres (Sekjen PBB) mengatakan bahwa penggunaan senjata berbasis AI dapat memunculkan perlombaan senjata baru yang lebih berbahaya. Bahkan, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bahkan menyatakan bahwa senjata berteknologi AI lebih mematikan dibandingkan senjata nuklir, sehingga perkembangannya perlu diawasi secara ketat. Yang membuat senjata jenis ini lebih berbahaya tidak hanya karena senjata ini memiliki kecerdasan tersendiri, namun juga karena senjata ini dapat diproduksi dengan cost yang lebih sedikit dibandingkan dengan nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya.
Pemerintahan yang otoriter juga dapat memanfaatkan AI untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Hal ini terlihat pada penggunaan berbagai teknologi pengawasan yang sangat canggih secara berlebihan oleh Pemerintahan RRC terhadap kaum Uighur dan para pemrotes pemerintahan. Tunisia, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan negara-negara Timur Tengah lainnya yang cenderung opresif juga diduga memakai teknologi serupa untuk menekan kebebasan berpolitik dan berpendapat rakyatnya, menurut investigasi BBC.
Selain oleh militer dan pemerintahan, AI juga dapat dimanfaatkan oleh berbagai organisasi kriminal dan para pelaku kejahatan untuk meningkatkan profit, memperluas korban, hingga memperparah dampak dari aktivitas mereka. Menurut sebuah laporan yang ditulis oleh 26 ahli AI dari Universitas Oxford, Cambridge, dan berbagai institut serupa, AI dapat digunakan untuk berbagai kegiatan yang mengancam keamanan di level nasional hingga internasional. Peretasan komputer tanpa terdeteksi, mengubah drone komersial menjadi senjata, kecelakaan mobil otonom akibat pembajakan jarak jauh, penyebaran propaganda negatif dan hoaks, itu hanyalah beberapa contoh tindakan kejahatan yang dapat dilakukan dengan memakai teknologi ini. Dr Sean O heigeartaigh, pakar AI dari Cambridge yang juga turut menulis laporan tersebut, menyatakan jika tidak ada persiapan yang matang dari individu hingga pemerintah di seluruh dunia terhadap ancaman ini, maka kejahatan siber dan kejahatan berteknologi canggih akan terus tumbuh secara pesat.
Teknologi AI layaknya pisau bermata dua. AI telah menunjukkan berbagai potensi menakjubkannya di bidang informasi, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan di berbagai bidang lainnya. Akan tetapi, AI juga membawa risiko yang semakin tinggi terhadap keamanan, ketertiban, kestabilan politik dan hukum, hingga perdamaian. Di tangan seorang hacker, AI dapat dibentuk menjadi mesin peretas yang memiliki level kemampuan di atas manusia. Di tangan seorang penjahat perang, kejahatan kemanusiaan dapat dilakukan dari jarak jauh. Di tangan yang salah, teknologi ini memungkinkan tindak kejahatan yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Oleh karena itu, perbincangan tentang AI seharusnya tidak hanya tentang memperluas cakupan teknologi ini, namun juga diimbangi dengan kewaspadaan moral atas perkembangannya yang signifikan. Perlu ada kesepakatan moral bersama yang menjaga perkembangan AI. Regulasi yang kuat juga cukup penting dalam mencegah penyalahgunaan AI. Sayangnya, belum ada kesepakatan atau regulasi internasional yang mengatur tentang perkembangan AI. Bahkan, AS yang dianggap sebagai negara pelopor AI, belum memiliki hukum yang kuat dalam mengatur perkembangan teknologi ini. Meski demikian, pengaturan yang kuat untuk mencegah kejahatan berteknologi AI masih dapat diciptakan jika masyarakat global diyakinkan akan manfaatnya yang lebih besar bagi kebaikan bersama dibandingkan untuk melakukan kejahatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H