Lihat ke Halaman Asli

Dimas Dharma Setiawan

Penulis Artikel di Banten

Pasal Humanis di KUHP Baru; Kebaikan bagi Pemasyarakatan

Diperbarui: 27 Desember 2022   13:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto penulis  

Gong telah ditabuh oleh Pemerintah sebagai tanda pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Regulasi ini mereformasi KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda yang sudah 104 tahun eksis di bumi pertiwi. KUHP lama disebut tidak populer karena tidak  bisa melawan tindak pidana baru, tidak memberikan kepastian hukum oleh karena banyaknya penafsiran dan tidak humanis dimana setiap tindak pidana akan berujung pada pemenjaraan. Bangsa Belanda sendiri disebut sudah merivisi KUHP sebanyak 451 kali yang artinya mereka sudah melupakan produk hukum masa lalunya.

KUHP baru lahir melalui persalinan normal, tindakan dilakukan mulai dari pembahasan draft oleh tim perumus yang terdiri dari unsur Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Kemenkumham, Akademisi, Ahli Pidana dan Praktisi. Setelah draft rampung disodorkan kepada kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dilakukan pembahasan. Sejumlah rektorika penolakan datang dari masyarakat dan kelompok masyarakat sehingga pembahasannya sempat mandek beberapa saat.

Politik hukum berjalan sewajarnya, mengindahkan kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas. Saran dan masukan masyarakat mendapatkan tempat yang penting. Cita rasa nusantara dimasukan dalam KUHP berupa mengakomodir prinsip-prinsip adat seperti hukuman bagi pelaku berupa melaksanakan kewajiban adat istiadat.

Untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat, telah dilakukan proses uji petik disejumlah daerah, salah satunya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Kota Serang. Penulis mengikuti kegiatan tersebut yang dihelat secara luring dan daring. Profesor Edward Omar Sarif selaku Wakil Menteri Hukum dan HAM membuka acara yang dihadiri oleh unsur forum pimpinan daerah Provinsi Banten, praktisi hukum, mahasiswa dan masyarakat. Dengan nada luwes, Edward memaparkan paradigma berpikir maju agar bangsa Indonesia memiliki hukum pidana sendiri yang ramah, menjamin kepastian hukum dan modern.

Pada prakteknya dalam menetapkan suatu tindak pidana dilarang menggunakan analogi, dalam arti penafsiran dengan cara memberlakukan suatu ketentuan pidana terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak diatur atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah dengan cara menyamakan atau mengumpamakan kejadian atau peristiwa tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah

Hadir citra hukum humanis berupa pidana tutupan, pidana denda, pidana kerja sosial dan pidana pengawasan masuk dalam pasal yang dapat dipertimbangkan pada saat beracara (Pasal 65). Misalnya saja setiap orang yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara karena keadaan pribadi, perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan (pasal 74). Pidana tutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.

Kemudian terhadap  terdakwa Anak, terdakwa berusia diatas 75 tahun,  terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana, terdakwa telah mengganti kerugian terhadap korban dan terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan menimbulkan kerugian yang besar diupayakan tidak dijatuhi pidana (pasal 70).

Adapun pidana denda ditetapkan berdasarkan: (a). kategori I, Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); (b). kategori II, Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); (c). kategori III, Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); (d). kategori IV, Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); (e). kategori V, Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); (f). kategori VI, Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); (g). kategori VII, Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan (h). kategori VIII, Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) (pasal 79) .

Terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54 dan Pasal 70.

Penulis yang berprofesi sebagai Pembimbing Kemasyarakatan (PK) menjadi saksi tentang orang yang dijatuhi pidana penjara berdampak hancur kehidupan rumah tangganya, terganggu nafkah keluarganya, kehilangan pekerjaannya, putus pendidikannya hingga mengulangi pidananya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline