Lihat ke Halaman Asli

Dimas Dharma Setiawan

Penulis Artikel di Banten

Pembimbing Kemasyarakatan Calon Gubernur?

Diperbarui: 1 Oktober 2020   09:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kupastuntas.co

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak tahun 2020 telah melewati tahap pendaftaran pasangan Bakal Calon (Balon) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Kada/Wakada) pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi/Kabupaten/Kota. Tahapan dilanjutkan dengan penetapan Balon Kada/Wakada menjadi Pasangan Calon (Paslon) Kada/Wakada. Sejak saat itu masyarakat sudah bisa mengenali para kontestan yang telah disyahkan tersebut untuk selanjutnya dipilih pada tanggal 9 Desember 2020.

Dari 270 daerah di seluruh Indonesia yang menyelenggarakan Pemilukada yang berjumlah 687 Paslon tidak ada satupun Paslon yang berlatarbelakang sebagai Pembimbing Kemasyarakatan (PK) maupun Asisten Pembimbing Kemasyarakatan (APK). Dengan demikian tulisan ini tidak mungkin mendukung Paslon yang berlatarbelakang PK/APK baik yang masih aktif maupun yang sudah purna tugas.

Penulis meyakini Paslon yang sudah terdaftar di KPU merupakan orang-orang pilihan, mulai dari politisi, akademisi, selebriti, tokoh masyarakat, pengusaha, mantan pejabat  hingga keluarga pejabat. Mereka memiliki sejumlah kompetensi yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Adapun penulis membuat opini ini dalam rangka ingin turut mewarnai kehidupan literasi di media masa yang tema nya agar selalu segar dan terbarukan. Dalam kesempatan ini pemilihan tema dihubungkan dengan Pemilukada serentak tahun 2020.

Siapa PK ?

PK adalah warga negara Indonesia yang setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. PK harus berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengingat beban tugas PK yang berat, memegang rahasia negara dan rahasia kehidupan warga binaan pemasyarakatan (WBP) sebagai masyarakat seutuhnya sama dengan masyarakat umumnya yang tidak berhadapan dengan hukum.

PK harus bergelar sarjana atau diploma dengan alasan ia harus sudah memiliki kompetensi dasar sebelum menjabat dan diharapkan bisa menguasai serta mengamalkan segala disiplin ilmu pengetahuan.  Tidak sampai disitu sebelum mengemban jabatan PK, seseorang pegawai harus melalui pendidikan dan pelatihan dalam kurun waktu tidak kurang dari satu bulan. Di dalam asrama, otak PK digembleng agar menjadi aparatur yang tangguh di lapangan.

Pada dasarnya keberadaan PK sama dengan abdi negara lainnya ialah sebagai pelayan masyarakat atau melayani masyarakat. Namun masyarakat yang dimaksud dibatasi pada masyarakat yang sedang menjalani pemidanaan dan masyarakat yang sedang berhadapan dengan hukum pidana. Adapun masyarakat umum dilayani sesuai kebutuhannya oleh instansi pemerintah lainnya.

Sebagai negara hukum, pemerintah melindungi seluruh rakyatnya termasuk terhadap mereka yang sedang menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana melalui aturan dan aparatur hukumnya di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan. PK sebagai penegak hukum di bawah institusi Pemasyarakatan aktif memenuhi hak hukum kepada masyarakat yang sedang berhadapan dengan hukum dan yang sedang menjalani pemidanaan dalam bentuk kegiatan pendampingan, penelitian kemasyarakatan (Litmas), pembimbingan dan pengawasan. Tahapan tersebut dalam bahasa hukumnya disebut pra-ajudikasi, ajudikasi dan post-ajudikasi.

Apa tugas PK ?

Tugas PK berbeda dengan tugas yang di-emban oleh penegak hukum lainnya. Peraturan memerintahkan kepada PK agar pada saat mengentaskan suatu perkara jangan hanya melihat dari dimensi hukum saja, melainkan pendekatan segala disiplin ilmu (multidimensional approach). Hal ini memberikan pesan bahwa seorang pelaku tindak pidana sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan banyak norma di masyarakat. Dengan demikian menilai perilaku seseorang secara luas sangatlah diperlukan demi pemulihan hidup, kehidupan dan penghidupan yang bersangkutan dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Pendekatan pola asuh orang tua, tujuannya menelisik riwayat WBP dalam lingkungan keluarganya sejak ia dilahirkan, dibesarkan hingga situasi dan kondisi ia saat melakukan tindak pidana. Suka atau tidak suka keluarga menjadi pihak yang disorot. Penulis pernah menemukan suatu perilaku negatif seorang ayah yang menular kepada anaknya. Sang ayah menggunakan shabu-shabu, sang anak pun melakukan hal yang serupa. Keduanya harus berhadapan dengan hukum dan menjalani pemidanaan. Persitiwa tersebut jangan sampai terjadi lagi pada sosok ayah dan anak lainnya di Indonesia. Dengan demikian keluarga harus diajak bicara terkait pemulihan kehidupan WBP.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline