Lihat ke Halaman Asli

Dimas Budi Prasetyo

Dosen dan konsultan

Sedikit Insight Cara Menghindar dari Impulsive Buying

Diperbarui: 3 April 2019   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Impulsive buying (Sumber: abcnews.go.com)

Walaupun belum ada bahasa kita yang tepat menggambarkan impulsive, namun sebagian besar orang cukup familiar dengan kata ini terutama dalam konteks belanja. Jadi, apa itu impulsive? Di laman blog pribadi, saya pernah menjelaskan paper yang pernah saya ikutkan di sebuah konferensi. Supaya tidak mengulang-ulang, di sini saya akan menjelaskan secara singkat bahwa impulsive dalam konteks perilaku konsumen adalah perilaku di mana kita mudah tergoda untuk membeli suatu produk/menggunakan jasa tanpa proses berpikir yang panjang. Lawannya impulsive adalah self-control. Jadi secara logika, ketika kita punya self-control yang kuat, kita akan terhindar dari perilaku impulsive.

Awal ketertarikan saya dengan impulsivity adalah ketika saya bekerja di bidang marketing research, di mana saya terpapar oleh kondisi riil di mana impulse purchase terjadi di lapangan. Lalu topik tersebut berlanjut ketika saya melanjutkan kuliah di bidang consumer psychology; saat menghadap calon thesis supervisor saya berambisi untuk membuat sebuah alat ukur (konon katanya psikologi paling jago untuk membuat alat ukur sikap/perilaku manusia) yang mampu memprediksi kemampuan sebuah produk secara visual dalam menghasilkan perilaku impulsive. Calon supervisor saat itu menyambut ide gila saya dengan menyuruh saya banyak membaca jurnal ini itu. Dan saat itu juga saya 'diingatkan'. Rasanya mental dan otak manusia terlalu kompleks untuk bisa diajak memprediksi suatu kondisi abstrak yang belum pernah digunakan/dirasakan -- alhasil, hampir mustahil untuk bikin 'alat ukur' tersebut. At least saat itu. Mungkin beda kondisi ketika bidang neuroscience dan cognitive and machine learning sudah menjadi topik umum di tengah kita. Namun begitu, tesis saya tetap berjalan dengan topik yang sama walaupun bukan dalam konteks membuat alat ukur.

Berbicara mengenai impulsivity, berarti juga berbicara mengenai attention, perception, dan proses kognitif yang terjadi setelah kedua proses di awal berjalan. Di awal saya membahas mengenai impulsivity dan self-control. Hal ini terkait dengan bagaimana mental set kita memproses informasi. Hal yang paling umum mampu menjelaskan fenomena ini adalah dual sytem thinking yang banyak digunakan oleh psychologist dalam beberapa dekade terakhir. Sebut saja, system 1 dan system 2. System 1 berarti proses berpikir otomatis, intuitif, dan cenderung emosional, sehingga mudah untuk dilakukan (proses berpikir tersebut); sedangkan system 2 berarti proses berpikir reflektif/deliberative, struktural, logis sehingga cenderung lebih sulit untuk dilakukan. Secara umum, kita bisa membayangkan perilaku impulsive adalah buah dari hasil proses berpikir system 1. Perlu diingat, system 1 dan system 2 di sini bukan masalah good and bad, angel and devil, tapi lebih ke resource yang digunakan untuk generate hasil proses berpikir individu.

Secara kognitif, impulsivity bisa terjadi karena otak manusia pada dasarnya gemar melakukan simplifikasi, yang mana proses ini sangat melekat pada system 1. Selain itu, impulsivity juga bisa terjadi karena manusia memiliki bounded rationality, yaitu ketidakmampuan otak untuk menghasilkan keputusan yang reliable di waktu yang berbeda-beda karena proses kognitif yang dialami pun juga berbeda-beda -- hasil keputusan pun juga berbeda-beda. Jadi, impulsive atau tidak nya individu tersebut juga tergantung konteks dan waktu.

Nah, sudah tau sekilas tentang impulsive buying, lalu pertanyaan selanjutnya adalah gimana cara terhindar dari perilaku tersebut? Apalagi dalam konteks belanja?

Ketika menyusun tesis, saya mendapat beberapa pertanyaan 'tidak langsung' dari beberapa sumber. Kenapa 'tidak langsung'? Karena pertanyaan tersebut dilontarkan ketika saya sedang menyebar kuesioner penelitian tesis wkwkwk. Pertanyaan mereka persis seperti yang saya cantumkan di atas. Dalam kesempatan ini, saya akan coba memberikan sedikit gambaran tentang cara untuk keluar dari zona nyaman tersebut, zona di mana impulsivity sering terjadi di sekitar kita. Monmap karena agak filosofis, so silakan diturunkan sendiri secara pragmatis dan praktis.

Yang pertama adalah ketika ingin membeli sesuatu, usahakan kita tidak terpapar hanya pada satu pilihan saja. Kalau pun memang hanya satu pilihan pada satu tempat, coba mundur sejenak dan lihat di tempat lain ada item yang serupa atau tidak. Karena ketika dihadapkan oleh banyak pilihan, otak kita akan cenderung bekerja secara deliberative - jadi, membuat pilihan secara seksama dan lebih terkontrol. Sebuah penelitian di tahun 1998 menunjukan bahwa sebuah produk A yang dipersepsi baik ketika disejajarkan dengan produk yang memiliki keunggulan yang serupa (produk B, C dst) akan membuat persepsi positif produk A tersebut menurun. Sebaliknya, jika satu produk Z dipersepsi buruk, maka ketika produk tersebut disejajarkan dengan fitur yang serupa (produk Y, X dst) akan membuat persepsi produk Z tersebut menjadi naik.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan studi di tahun berikutnya di mana stimulus yang dievaluasi secara bersamaan akan menghasilkan keputusan yang emosional dan impulsive. Jadi, secara umum, melihat banyak pilihan akan membuat kita galau. Galau inilah yang membuat otak kita bekerja jadi lebih refletif dan evaluatif sehingga pada umumnya keputusan yang kita ambil akan lebih terkontrol dan, tentunya, tidak impulsive.

Dalam berbelanja, bahkan untuk grocery products, saya sudah mendesain mental set saya bahwa setiap item yang saya beli di satu supermarket juga dijual di supermarket yang lain - jadi saya punya imaginary location options untuk tiap satu item belanja saya.

Hal yang kedua adalah hindari berbelanja ketika pikiran kita sedang cognitively high load -- terlalu banyak pikiran. Ketika dalam situasi ini, kapasitas memproses informasi akan menurun -- oleh karena itu, akan sangat sulit mengajak system 2 untuk turut bekerja mengolah informasi baru. Satu penelitian mencoba menjelaskan fenomena ini, di mana suatu hal dilihat dari sisi afektif dan kognitif. Peneliti mengambil chocolate cake dan fruit salad sebagai objek pengambilan keputusan. Kita sama-sama tahu bahwa dari segi kesehatan fruit salad lebih baik bagi tubuh kita. Berbeda dengan chocolate cake, secara rasa dia akan lebih menggoda ketimbang fruit salad. Dalam kondisi ini, chocolate cake lebih menarik secara afektif dan fruit salad lebih menarik secara kognitif.

Oke, sepertinya pembahasan dan istilah mulai agak berat. Tapi mudah-mudahan masih bisa ngikutin ya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline