Lihat ke Halaman Asli

Dimas Anggoro Saputro

Engineer | Content Creator

Meneladani Semangat Gotong Royong Leluhur Melalui Pesona Kebhinnekaan

Diperbarui: 29 Agustus 2017   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam tirakatan Camp Pesona Kebhinnekaan (@genpiJOGJA)

"Apakah kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya Rakyat Gotong Royong", Pidato HUT Republik Indonesia, 1966 Bung Karno

Bulan Agustus belum usai. Beberapa hari yang lalu warga Indonesia merayakan hari ulang tahun negaranya. Kamis, 17 Agustus 2017 tujuh puluh dua tahun sudah negara Indonesia merdeka. Untuk memperingati dan merayakan hari ulang tahun tersebut, masyarakat mewarnainya dengan beraneka ragam. Mulai dari menggelar lomba sampai dengan upacara bendera.

Tujuh puluh dua tahun yang lalu, pendahulu bangsa Indonesia telah sampai di depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Bukanlah hal yang mudah dalam mencapai kemerdekaan tersebut. Namun, tantangan mempertahankan kemerdekaan juga bukanlah hal yang remeh temeh, bahkan lebih berat daripada mencapainya.

17 Agustus 1945, negara Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Namun, ternyata memproklamirkan kemerdekaan saja tidak cukup. Para penjajah masih saja terus berusaha merebut negara Indonesia untuk tunduk di bawah kekuasaannya. Semangat gotong royong pendahulu kita dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, mengusir penjajah dari NKRI sepatutnya kita teladani.

"Tidak penting apa pun agama atau sukumu.. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu..", Gus Dur

Masih segar dalam ingatan kita, belum lama ini Indonesia menjadi juara dunia Bulu Tangkis dalam ajang Olimpiade kategori ganda campuran. Semangat nasionalisme semakin menggelora. Luka dari ajang perlombaan yang lain pun sedikit terobati. Bangsa kita adalah bangsa bermartabat, dengan rendah hati kita mudah memaafkan. Ternyata Tuhan telah mempersiapkan kemenangan besar di depan sana. Rencana Tuhan, siapa tahu?

Camp Pesona Kebhinnekaan

16 Agustus 2017 yang lalu, Duta Damai Regional Yogyakarta menghelat acara Camp Pesona Kebhinnekaan yang diselenggarakan di Watu Payung, Selo Langit, Gedhang Atas, Sambirejo, Sleman, DIY. Acara tersebut merupakan rangkaian kegiatan Mewarnai Indonesia yang diadakan oleh Duta Damai Regional Yogyakarta. Acara yang mempertemukan komunitas pegiat media sosial, pelajar, komunitas lintas iman, pelaku pariwisata dan lintas komunitas lainnya.

Sayur asam di atas daun jati

Sayur asam piring daun jati (dok.pri)

Siang hari, tepat matahari di atas kepala, aroma sayur asam telah melambai-lambai. Seluruh peserta, panitia dan warga berkumpul untuk santap siang bersama. Makan siang kala itu dikemas dengan sangat sederhana, tetapi begitu nikmat dan bermakna. Tempat makan menggunakan daun jati dan daun pisang. Kedua daun tersebut sangat mudah ditemui di tempat ini, warga pun memanfaatkan apa yang telah disediakan oleh alam. Sayur asam, tempe goreng, ikan teri goreng, krupuk dan nasi putih, menjadi menu santap siang kami. Gethuk menjadi makanan penutup dan cemilan kala itu. Semua menu santap siang kami adalah hasil kreasi masakan dari warga Gedhang Atas, terutama para kaum wanita. Dengan sukarela mereka bergotong royong memastikan perut kami tak kelaparan.

Belajar geo heritage

Mas Ndut saat bercerita tentang batuan di Selo Langit (Duta Damai Jogja)

Berada di Selo Langit, nampaknya tidak sah jika tak belajar tentang geo heritage. Pembelajaran yang sedang tren saat ini. Pada kesempatan itu, hadir di tengah-tengah kami Dr. Didit Hari Barianto. Mas Ndut, begitu sapaan akrabnya. "Ilmu bumi itu tidak membumi", kalimat pembuka yang disampaikan oleh Mas Ndut. Beliau menganalogikan, bahwa banyak orang yang jago menghitung tetapi ketika ditanya "Itu batuan apa?" banyak yang tidak mengetahui. Masyarakat awam pada umumnya masih banyak yang salah kaprah mengenai batu dan batuan. Menurut pemaparan beliau, Selo Langit adalah bibir kawah gunung berapi (dulunya) dan Watu Payung merupakan Rock Fall atau batuan jatuhan akibat letusan gunung berapi.

Viral yang direncanakan

Mas Eko (@infoseni_) saat memaparkan viral di dunia maya (Duta Damai Jogja)

Berbicara dunia maya, berbicara pula mengenai media sosial. Keresahan penyebaran konten-konten negatif di dunia maya, terutama sosial media telah menghantui masyarakat. Isu berbau agama dan SARA dibuat untuk menyulut konflik bahkan mengancam persatuan sebuah bangsa. Lebih dari itu, serangan radikalisme dan terorisme sudah merambah ke dalam banyak elemen. Oleh karena itu Eko Nuryono, salah satu pegiat media sosial di Yogyakarta mengajak diskusi cara memviralkan konten positif di dunia maya. Diskusi tersebut berlangsung dengan seru, sayang sekali waktu membatasi kami. Kami tak sempat mempraktikkan secara langsung ketika kala itu.

Senin, 21 Agustus 2017 tepat pada pukul 16.00 WIB Sahabat Damai bergotong royong memproduksi konten positif menaikkan tagar #PesonaKebhinnekaan. Hari itu Sahabat Damai mengaplikasikan apa yang telah mereka dapat dari diskusi di Selo Langit. Viral yang direncanakan tersebut berhasil mereka capai. Kurang lebih pukul 18.16 WIB, tagar #PesonaKebhinnekaan telah menduduki trending topik nasional di sosial media twitter.

Tirakat di dalam Kenduri

Kenduri malam tirakatan (@genpiJOGJA)

Malam tirakatan tujuh belas Agustus dikemas dengan acara Kenduri dan diskusi. Kenduri tersebut dilakukan bersama warga Gedhang Atas. Warga berbondong-bondong dari rumah mereka menuju Watu Payung dengan membawa "berkat", berupa makanan dengan aneka ragam lauk pauk dan sayur serta pencuci mulut. Kenduri merupakan wujud syukur dan memohon keselamatan kepada Tuhan. Kenduri ditutup dengan santap malam bersama.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline