Apa sifat dasar dari kekuasaan? Sifat dasar kekuasaan adalah kesewenang-wenangan. Lord Acton, tokoh yang merumuskan pentingnya pembatasan kekuasaan menyampaikan bahwa "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang tak terbatas menghasilkan penyalahgunaan yang mutlak).
Kita tentu tidak bisa berharap menemukan pemimpin yang suci dalam setiap periode selayaknya nabi-nabi. Pemimpin yang benar-benar memiliki visi mulia tidak lahir tiap tahun. Acapkali kita justru mendapati pemimpin yang hanya mementingkan ego pribadi maupun kelompoknya saja. Bagaimana jika pemimpin yang kita pilih ternyata berbeda jauh dengan bayangan pemimpin yang kita impikan?
Terlebih lagi dalam konteks bernegara, negara adalah satu-satunya institusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemaksaan, kekerasan, dan monopoli. Jika kekuasaan itu berada ditangan yang salah, sementara kekuasaan tersebut amatlah besar, bagaimana nasib masyarakat banyak?
Kegelisahan akan bahaya kekuasaan yang absolut memunculkan rumusan terkait pembatasan kekuasaan dan penyebaran kekuasaan, yang dalam bahasa popular disebut demokrasi konstitusional. Disebut demokrasi konstitusional karena kekuasaan harus dibatasi oleh undang-undang (aturan) dimana orang atau institusi yang menerima kekuasaan tersebut kedudukannya tidak boleh lebih tinggi dari aturan yang ada. Sementara itu, demokrasi juga mensyaratkan adanya penyebaran kekuasaan dalam bentuk trias politica, yaitu lembaga legislasi yang bertugas membuat aturan, lembaga eksekutif yang bertugas melaksanakan aturan, dan lembaga yudikatif yang bertugas menguji serta menilai implementasi aturan tersebut. Ketiga lembaga tersebut juga saling melakukan pengawasan satu sama lain.
Demokrasi konstitusional menjadi tidak ideal manakala lembaga yang seharusnya saling mengawasi justru kompak bekerja sama demi menggapai tujuan kelompok tertentu. Undang-undang sebagai bentuk aturan yang membatasi kekuasaan diupayakan supaya sesuai dengan selera. Mereka mengebiri aturan sehingga sebenarnya aturanlah yang tunduk pada kepentingan penguasa.
Ambil contoh dalam kasus pembahasan revisi RUU KPK. Lembaga legislatif dan eksekutif yang selama ini kerap menjadi sasaran KPK disebut kompak melakukan berbagai upaya pelemahan, seperti penyadapan oleh KPK yang harus atas persetujuan dewan pengawas, pegawai KPK yang rentan dikontrol pihak tertentu karena berstatus ASN, jangka waktu penerbitan SP3 dibatasi hanya 2 tahun, dan sebagainya. Jikapun akhirnya terjerat kasus korupsi, konsekuensi hukum yang diterima juga dapat dikompromikan karena korupsi secara tersirat bukan lagi kejahatan luar biasa. Bahkan adanya pasal yang mengatur jatah cuti dan kelonggaran remisi bagi narapidana di dalam RUU Pemasyarakatan akan semakin membuat nyaman para pelaku korupsi.
Hal sama berlaku terhadap RUU Ketenagakerjaan, dimana terlihat arah keberpihakan para pengambil kebijakan. Masa kontrak dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang semakin lama dari 2 menjadi 5 tahun, penghapusan cuti haid dan fasilitas kesejahteraan, adalah contoh bagaimana aturan dibuat untuk keuntungan pihak tertentu. Begitu juga dengan RUU Pertanahan yang dianggap memberikan keleluasaan kepada para investor dan menghilangkan semangat land reform.
Kemesraan antar lembaga yang seharusnya saling mengawasi ini yang membuat rakyat sebagai pemberi mandat bertanya-tanya. Masihkah mereka layak sebagai perwakilan rakyat? Atau sudah saatnya rakyat bergerak menuntut sendiri kepentingan mereka?
Didasari rasa ketidakpercayaan inilah rakyat kemudian menggalang aksi. Seruan aksi dengan fokus utamanya melancarkan mosi tidak percaya kepada orang-orang yang sudah mereka percayakan untuk membuat demokrasi konstitusional berjalan baik. Ekspresi politik yang wajar untuk menyehatkan kembali demokrasi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H