Lihat ke Halaman Asli

Dimas Adiputra

Seorang karyawan swasta biasa

Sosok dalam Sejarah Indonesia yang Terlupakan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1392110505689085262

[caption id="attachment_311485" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: goodreads.com"][/caption]

Judul Buku      : Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda

Judul Asli        : De Njai: Het Concubinaat in Netherlands-Indie

Penulis             : Reggie Baay

Penerjemah      : Siti Hertini Adiwoso

Penerbit           : Komunitas Bambu

Cetakan I        : Mei 2010

Tebal Buku      : xx + 300 halaman

ISBN               : 979-3731-78-8

Buku ini mencoba keluar dari banyak tema pembahasan tentang sejarah. Apabila kebanyakan dokumentasi sejarah terfokus pada peristiwa besar yang dianggap mempengaruhi kehidupan di masa itu maupun sosok yang dianggap pahlawan, Reggie Baay sebaliknya. Dia justru ingin menampilkan sosok yang kurang diperhatikan di masa kelonialisme Belanda, yaitu perempuan yang menjadi gundik orang Belanda.

Dalam literatur sejarah Indonesia, perempuan memang kurang mendapat tempat. Kehidupan wanita pada saat penjajahan Belanda identik dengan kasur, sumur, dan dapur. Mereka dianggap tidak berperan besar dalam perkembangan zaman sehingga kalah oleh hingar bingar aksi yang dilakukan laki-laki.

Padahal para Nyai, sebutan untuk perempuan yang menjadi gundik – juga memiliki kisah tersendiri, terutama tentang beban yang harus mereka tanggung. Bagi masyarakat pribumi, status sebagai seorang Nyai hanya lebih baik dari pelacur. Para Nyai harus menerima stempel sebagai penjajah bangsa karena berumah tangga dengan orang yang menjajah bangsanya sendiri. Mereka juga dicap sebagai penjajah agama karena tunduk pada orang Belanda yang berbeda keyakinan dengan masyarakat sekitar.

Selain memperoleh diskriminasi dari penduduk pribumi, para Nyai juga kerap kali menerima perlakuan semena-mena dari laki-laki Belandanya. Tinggal serumah tanpa ikatan yang jelas membuat kehidupan para Nyai penuh dengan ketidakpastian. Mereka bisa terusir kapan pun. Mereka juga harus menyingkir apabila laki-laki Belandanya memperoleh wanita Eropa. Hanya sedikit yang memperoleh kemujuran dengan berakhir di pelaminan dan menetap di Belanda bersama pasangannya.

Membaca buku ini seperti menemukan versi non fiksi dari mahakarya salah satu dari tetralogi Buru yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Pram dalam novel Bumi Manusia juga bercerita tentang seorang Nyai bernama Ontosoroh (nama aslinya Sanikem), yang menjadi gundik laki-laki Belanda setelah dijual oleh orang tuanya.

Kehidupan yang dialami Nyai Ontosoroh merupakan cerminan hidup yang dialami sebagian perempuan Hindia Belanda dalam pergundikan. Mereka dipaksa menikah di usia muda (14-18 tahun), dijual orang tuannya kadang untuk membayar hutang atau demi gelontoran gulden, dan akrab dengan perlakuan buruk. Akan tetapi yang menjadi pembeda, dalam karya Pram itu Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai sosok perempuan yang kuat, cerdas, dan tidak mau direndahkan orang lain setelah dewasa. Sementara dalam penjelasan Baay, banyak dari para Nyai yang hidupnya tidak menentu selama menjadi Nyai dan setelah dilepas laki-laki Belandanya.

Keunggulan buku yang ditulis Baay terletak pada cara penulis membuat sistemasi bab. Baay membagi praktek pergundikan di era kolonialisasi Belanda dalam beberapa bab seperti pergundikan dalam dunia sipil, dalam barak militer, maupun dalam perkebunan-perkebunan tebu. Berdasarkan uraian pada masing-masing bab, pembaca dapat menemukan informasi dengan lebih utuh dan mendalam karena fenomena pergundikan di masing-masing tempat memiliki perbedaan.

Sebagai contoh, pergundikan di dunia sipil dalam penjelasan Baay disebut lebih manusiawi jika dibandingkan dengan pergundikan di barak militer. Wanita yang menjadi gundik pejabat Belanda memperoleh kehidupan yang lebih makmur. Akan tetapi terkadang kehadiran mereka (Nyai) harus dirahasiakan dengan berperilaku seperti pembantu (baboe) ketika pejabat tersebut sedang menerima tamu. Sementara itu pergundikan dalam barak militer lebih terbuka namun keras. Terkadang para moentji – sebutan untuk gundik di tangsi juga bekerja di dapur militer.

Pemisahan kondisi ini memudahkan pembaca dalam mengikuti alur cerita yang dibuat penulis. Pembaca bisa memperoleh perspektif anyar dan ikut merasakan suasana baru ketika berpindah membaca bab yang lain. Tidak lupa dijelaskan pula dalam satu bab penuh tentang kehidupan anak yang lahir dalam pergundikan, yang harus menerima lahir sebagai orang yang dijajah sekaligus terjajah.

Satu catatan yang perlu dikritisi dari buku ini, cukup banyak sumber sastra yang dijadikan rujukan oleh penulis. Hal ini tidak lain karena sulitnya melacak sumber data mengenai pergundikan baik di Belanda maupun Indonesia. Seperti penulis yang kesulitan menelusiri jejak neneknya yang seorang wanita Indonesia, yang kisahnya ditutup rapat-rapat oleh ayah Baay sediri. Namun sumber fiksi ini bisa jadi memang menggambarkan situasi sesungguhnya karena karya-karya yang dikutip sebagian besar ditulis pada akhir abad 19 dan awal abad 20.

Maka tidak ada salahnya membaca buku ini untuk menambah wawasan sejarah secara lebih komprehensif. Baay membuktikan bahwa meskipun lebih banyak berperan dalam urusan rumah tangga, peran wanita tidak dapat disepelekan. Wanita-wanita Indonesia tetap salah satu pelaku sejarah yang kehadirannya nyata pada masa itu. Mereka tetap merasakan penjajahan, bahkan memperoleh eksploitasi yang lebih dari para laki-laki seperti yang dialami para Nyai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline