"Kami ingin mengajak saudara-saudara untuk terus berjuang sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan. Jaga kedaulatan rakyat. Takbir! Merdeka!" pekik Sandiaga Uno dalam orasi yang berapi-api, sebulan pasca-pemungutan suara Pemilu 2019.
Usai kerusuhan 21-22 Mei yang menelan delapan korban jiwa, diksi bernada provokasi dari Sandi ini dipersoalkan. Banyak yang menyayangkan pernyataan tersebut. Mereka beranggapan, komentar itu ikut andil dalam memicu aksi kekerasan massa di Ibu Kota.
Sebuah laporan investigasi yang dikeluarkan tiga lembaga pembela hak asasi manusia (HAM), yakni KontraS, Lokataru Foundation, dan LBH Jakarta, menyebut sikap dan pernyataan elite politik, baik dari kubu pemerintah maupun oposisi yang terus memanaskan suasana dan mengakselerasi kekerasan.
Alih-alih mendinginkan suasana, pernyataan kedua kubu justru semakin memperburuk situasi, sejak, sebelum, dan setelah penetapan pemenang Pilpres 2019 oleh KPU. Diksi provokasi itu kemudian direspon secara cepat oleh massa baik di Jakarta maupun di luar Jakarta. Akibatnya, kerusuhan tidak dapat dielakkan.
Memang, kondisi bangsa ini sudah diperparah oleh sikap para pemimpin kita yang suka bicara seenaknya. Gemar memprovokasi, menghasut dan memanas-manasi satu kelompok untuk membenci kelompok lain, dengan harapan kepentingan pribadi dan kroni-kroninya dapat terwujud.
Inilah yang sangat kita sayangkan. Kontestasi demokrasi ternodai oleh aksi-aksi anarkistis yang menelan korban jiwa. Hanya demi ambisi berkuasa elite politik, rakyat pendukung harus meregang nyawa. Mereka dikorbankan, diadu-domba, demi tujuan yang tak lebih dari sekedar kekuasaan.
Sulit untuk dipungkiri, bahwa kubu oposisi memiliki niat untuk memenangkan kontestasi dengan cara-cara di luar konstitusi. Buktinya, sebelum penetapan hasil rekapitulasi, wacana 'people power' dan 'kedaulatan rakyat', terus digaungkan.
Para elite meminta pendukungnya menolak hasil penghitungan suara. Dalih mereka, banyak kecurangan yang dilakukan oleh kubu petahana. Padahal, jika tuduhan itu benar, ada cara untuk menyelesaikannya, yakni lewat jalur gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Ini cara elegan dan sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah sejak awal mewanti-wanti agar Prabowo-Sandi menempuh jalan ini. Namun, segelintir elite oposisi lebih menyerukan agar pendukung turun ke jalan. Mereka mengobarkan semangat perlawanan untuk menolak pemilu yang dianggap penuh kecurangan.
"Bahwa 'suara rakyat Indonesia suara 02 yang diotak-atik', harus kita bela sampai titik darah penghabisan. Karena itu jawaban kita kalau ada ajak total war, kita lebih sanggup dari total war, Insya Allah. Tidak ada ceritanya rakyat kalah terhadap penguasa."
Begitu pernyataan yang dikeluarkan Amien Rais saat mendeklarasikan 'Gerakan Kedaulatan Rakyat' di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/5/2019). Mantan ketua MPR ini sebelumnya juga menyerukan gerakan 'people power' untuk menuntut petahana mundur dari kursi kekuasaannya.