Publik kembali menyaksikan jiwa besar kenegarawanan yang nyaris hilang di negeri ini. Adalah Komandan Kogasma Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), tokoh muda penuh kharisma, berupaya meredakan gejolak politik yang terjadi akibat kontestasi perebutan kekuasaan.
AHY seakan tak peduli akan caci-maki segelintir pendukung oposisi, yang menuding dirinya hendak mengkhianati koalisi. Begitulah jiwa seorang negarawan. Mampu memisahkan mana urusan negara, mana masalah politik, mana pula persoalan pribadi. Politik satu hal, pribadi hal lain, dan negara selalu yang utama.
Kemarin, putra sulung Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, memenuhi undangan Wali Kota Bogor, Bima Arya, guna mengikuti silaturrahmi bersama sejumlah kepala daerah dan tokoh muda nasional. Agenda dari pertemuan itu untuk membahas kegelisahan atas elemen bangsa yang semakin tersekat.
Pertemuan ini layak diapresiasi. Di saat tokoh-tokoh tua, politikus senior, para purnawirawan jenderal, intelektual, serta tokoh agama terpecah-belah karena mati-matian mendukung jagoan masing-masing, para anak muda yang masih berpikir waras ini, justru berani mengambil risiko untuk duduk bersama guna membicarakan upaya menyatukan bangsa ini kembali.
Dan, dari semua tokoh muda itu, yang paling layak diacungi jempol adalah AHY. Ia satu-satunya tokoh dari kalangan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang berkenan hadir. Kubu yang saat ini menolak hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan gencar menyuarakan gerakan 'people power', karena menuding pemilu berlangsung curang.
Apalagi, dengan menghadiri pertemuan itu, AHY mendapat kritikan bertubi-tubi di media sosial. Ia dituding hendak 'merapat' ke kubu petahana. Ingin mendapat 'jatah' dari penguasa. Tudingan serupa yang beberapa waktu lalu juga disematkan kepada dirinya, lantaran memenuhi undangan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka.
Padahal, semua itu tidak benar. Percayalah, mereka salah. Berkali-kali AHY menjawab bahwa dia dan partainya, konsisten bersama kubu oposisi. Upaya duduk bersama dengan tokoh-tokoh dari kubu seberang, hanyalah sebuah tindakan untuk meredakan ketegangan, demi menyatukan kembali bangsa yang sudah terpolarisasi.
Semua itu dilakukan AHY untuk negara, demi rumah demokrasi yang telah bersusah payah kita bangun bersama. Demi stabilitas negara, ketegangan politik ini harus diakhiri. Ia bahkan rela menjadi pihak yang menginisiasi konsolidasi. Meski, fitnah dan tudingan datang tak henti-henti dari kelompok yang tidak ingin bangsa ini bersatu kembali.
AHY tak ragu tampil ke depan, menjadi martir perjuangan demi mewujudkan persatuan. Baginya, sudah saatnya kita duduk bersama untuk menata kembali hubungan antar sesama warga negara, agar rakyat tidak terus-menerus menjadi korban dari perebutan kekuasaan para elite politik.
Langkah besar AHY ini seakan mengingatkan kita kepada Muhammad Roem. Tokoh Masyumi yang dipenjara Presiden Soekarno. Ia dibui tanpa diadili, dan partainya dibubarkan. Sakit hatikah Roem? Tidak. Meski secara pribadi dan politik ia kerap dizalimi, tapi hal itu tidak pernah mempengaruhi tindakannya dalam urusan bernegara.
Buktinya, ketika Bung Karno dituduh sebagai pengkhianat, lantaran pernah meminta dikeluarkan dari penjara kepada Jaksa Agung Hindia Belanda pada 1933, Roem tampil sebagai pembela. Ia menolak tuduhan itu. Bagitulah sikap seorang negarawan. Boleh saja berseberangan pandangan politik, tapi urusan negara haruslah yang utama.