Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Merapi Butuh Juru kunci?

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini Indonesia sedang berduka. Musibah datang bersama-sama, tsunami di mentawai dan erupsi gunung merapi di jogja. Namun saat ini kita lebih berduka karena Indonesia kehilangan sosok mbah maridjan. Sosok sederhana dan berprinsip yang menjadi juru kunci gunung merapi. Pagi subuh itu saya memang tidak sengaja bergadang sambil memantau perkembangan merapi melalui layar televisi. Dan teman chat saya bertanya mengapa gunung merapi membutuhkan Juru kunci? dimana pintunya sehingga mempunyai kunci? dan mengapa orang jawa tidak pernah jauh-jauh dari mistik? Saya tertawa geli dan bingung menjawabnya. Teman saya ini bukan orang jawa. Dan bagi saya yang mempunyai darah jawa (walaupun setengah, setengahnya lagi sumatra), adalah hal biasa dan dapat dimengerti bagi saya mengapa orang jawa selalu tidak pernah jauh dari hal mistik. Namun menjadi sulit menjelaskan secara logika hal-hal seperti ini kepada beberapa teman saya yang tidak jawa. Saya rasa hal paling tepat untuk menjelaskan mengapa orang jawa senang hal mistis dan mengkeramatkan tempat-tempat tertentu kita dapat memakai perspektif dari Prof. Benedict R. Anderson, dalam bukunya yang berjudul Kuasa-Kata. Untuk mengerti mengapa orang jawa senang hal mistis dan keramat kita harus mengerti tentang konsep Kekuasaan dalam perspektif jawa. Konsep Kekuasaan dalam perspektif jawa berbeda dengan konsep modern (baca: barat) tentang kekuasaan. Kekuasaan bagi orang jawa adalah wahyu atau amanat yang dihibahkan Sang Maha Kuasa melalui laku tapa atau semedi. Konsep jawa kuno tentang kekuasaan tidak mengenal demokrasi dan sistem partai. Tidak pernah saya membaca tentang sejarah jawa seorang penguasa naik karena kaderisasi partainya atau pemilihan umum yang jujur dan adil. Peralihan kekuasaan dalam sejarah jawa memang penuh dengan darah dan perebutan. Karena kekuasaan sendiri --yang berbentuk wahyu dalam perspektif jawa-- dapat datang dan pergi secara tiba-tiba. Dimungkinkan seorang penguasa kehilangan wahyu-nya dan pindah ketubuh seorang rakyat biasa yang memang siap menerimanya melalui laku tapa yang intens, seperti cerita Gajah Mada, seorang rakyat jelata tanpa keturunan darah nigrat yang menjadi jenderal perang adikuasa setelah merasa menerima wahyu dalam bentuk cahaya. Atau kita pernah mendengar cerita Ken Arok yang merasa mendapat Kuasa setelah melihat betis kaki Ken Dedes yang indah. Sehingga konsep kekuasaan orang jawa memang dinamis dan cenderung tersimbolkan dalam banyak hal. Namun satu hal yang pasti bagi orang jawa. Bahwa wahyu ataupun amanat untuk memegang kekuasaan selalu membutuhkan medium sebagai tempat peralihan dari dunia 'astral' kedunia fana. Mediumnya pun dapat berbentuk macam-macam dan kadang konyol. Bisa dalam bentuk keris atau senjata lainnya. Bisa berbentuk tempat-tempat tertentu. Atau bisa dalam bentuk yang personal dan sedikit nuansa seksual. Seperti betis Ken Dedes atau dahi wanita seperti dalam cerita Roro Jonggrang dan seribu candinya. Sejarah Kraton Jogjakarta dimulai dari perpecahan Mataram menjadi Jogjakarta dan Surakarta melalui perjanjian Giyanti tahun 1755. Dan uniknya --saya mendengar dari beberapa orang tua-- bahwa keraton jogja dibangun atas dasar dua dunia 'astral'. Pertama adalah Pantai Selatan kedua Gunung Merapi. Pantai Selatan melalui personalisasi penguasa gaibnya yang bernama Ratu Nyi Loro Kidul dan Gunung Merapi yang sering dipanggil Eyang oleh orang Jogja. Kedua tempat tersebut mejadi pilar medium bagi kekuasaan keraton Jogjakarta. Sultan Mangkubumi yang mempunyai gelar Sultan Hamungkubuwuno pertama tentu saja konsisten dengan perspektif ini. Bahwa kekuasaan yang ia dapat hanyalah wahyu amanat yang dititipkan kepadanya melalui perantara dua tempat tersebut. Dan seperti portal atau jembatan menuju dunia 'astral' yang diyakini sang Sultan telah memberinya kuasa. Tempat tersebut menjadi semacam gateway yang membutuhkan seorang juru kunci. Yang tugasnya diyakini menjaga mediasi transendental antara dunia fana dan dunia 'astral'. Mungkin kalau kita membandingkan seperti Oracle dicerita legenda Yunani kuno. Lalu bila anda masih menanyakan mengapa Gunung Merapi butuh Juru Kunci? Saya akan menjawabnya juru kunci Merapi akan selalu dibutuhkan selama Keraton Jogjakarta masih ada. Namun yang lebih penting lagi adalah menanyakan mengapa kita membutuhkan Mbah Maridjan? Kita membutuhkan mbah maridjan sebagai tokoh panutan yang dapat kita jadikan teladan baik. Ia seorang yang terlihat sederhana dan jujur --Ia menyumbang sebagian besar penghasilannya dari hasil menjadi bintang iklan kepada rakyat disekita gunung merapi. Dari mbah maridjan pula kita belajar bahwa seseorang harus mengemban amanahnya walaupun harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Konsep pengorbanan yang terlihat  tanpa pamrih. Mbah maridjan juga mengajarkan kita bahwa menjadi sederhana bukan berarti tidak berani memegang prinsip. Bahkan walaupun terlihat kontroversial karena terlihat menentang pemerintah bahkan Sultan Jogja itu sendiri. Namun Mbah maridjan memang sepertinya datang kepada kita sebagai pengajar. Seorang pengajar yang mengajar bangsa ini untuk tetap berpegang pada hati nurani dan kesederhanaan. Saya menaruh tangan saya didada untuk memberi penghormatan terakhir kepada mbah maridjan. Mengapa kita membutuhkan mbah maridjan? saya akan berkata lantang, karena kita membutuhkan kekuasaan yang berhati nurani!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline