Lihat ke Halaman Asli

Mahasiswa, Agen Perubahan atau Agen yang Diubah Keadaan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih teringat sebuah tulisan “status Facebook” yang diterbitkan oleh teman saya pada suatu hari. Tulisan tersebut cukup menggelitik dan menyita perhatian dan cukup membuat kedua mata saya terfokus pada setiap baris kata-katanya. Kira-kira begini statusnya kala itu “Seharusnya ada semacam perubahan trend di kalangan mahasiswa, ukuran keren bukanlah dilihat dari seberapa good-looking nya style atau gaya berpakaian, akan tetapi lebih kepada pemikiran. Untuk beberapa saat saya tertegun serta membayangkan maksud dari kata-kata teman ini, dan akhirnya saya mengerti apa yang menjadi pointnya. Kejadian itu membuat saya ingin mengulasnya menjadi sebuah tulisan sederhana, agar bisa menjadi perhatian kita bersama.

Mahasiswa sejak dulu, digadang-gadang sebagai Agent of Change (agen perubahan), yang berfungsi sebagai pengontrol dari situasi sosial yang ada di sekeliling mereka, mempelajari berbagai macam fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat, sampai kepada pemberi solusi atas segala permasalahan yang timbul dalam dimensi-dimensi kehidupan sehari-hari.  Agen perubahan yang seharusnya mampu menempatkan posisinya sebagai “wakil” dari suatu tatanan sosial di masyarakat, untuk menyuarakan perubahan apabila diperlukan.

Namun agaknya ada yang berubah dan bergeser dari pernyataan di atas. Mari kita lihat bagaimana kondisi yang ada saat ini, kenyataannya adalah mahasiswa sekarang banyak dimanjakan bahkan dihipnotis oleh berbagai macam hal yang berusaha merubah bahkan merusak “identitas” kemahasiswaan mereka. Banyaknya tempat hiburan, mulai dari Mall, Bioskop, Karokean, Diskotek atau club malam dan sederet lainnya, yang tak jarang menawarkan mahasiswa kita kepada hal-hal yang bersifat hura-hura semata, syukur-syukur apabila semua hiburan tadi hanya sebagai sarana refreshing, namun kenyataannya malah sebaliknya. Serangan budaya luar (asing) pun menambah fenomena pengikisan identitas mahasiswa. Salah satunya yang saya maksudkan disini adalah dengan masuknya budaya K-pop (Korean pop) yang suka tidak suka banyak mempengaruhi style atau pun gaya berpakaian dan berdandan Mahasiswa kita. Hal ini dipandang menjadi hal yang lumrah, manakala stasiun-stasiun televisi kita mempertontonkan hal serupa dalam tayangan-tayangannya. Keadaan yang terjadi sekarang ini adalah seolah-olah merupakan representasi dari mahasiswa moderen yang telah beradaptasi dengan trend jaman sekarang dengan standard yang telah “diciptakan” secara massif oleh industri-industri raksasa ataupun perseorangan lewat brand-brand ternama mereka. Di saat semua orang, khususnya mahasiswa terbawa arus mainstream ini, semua akan berlomba dan berkompetisi untuk saling pamer bagaimana berpakaian yang “keren serta trendy masa kini”, yang padahal kurang lebih mengajarkan kita untuk menjadi hedonis dan cenderung narsis, karena selalu berorientasi pada kesenangan dan kepuasan semu, kemudian terhanyut dalam euforia pesta-pora belaka, sehingga melupakan tugas utama mereka sebagai Mahasiswa.

“Budaya” mahasiswa seperti berdiskusi tentang isu-isu sosial, politik, sastra, ekonomi, lingkungan atau bahkan sampai kepada hal-hal dasar yang berbau falsafah hidup dianggap sebagai hal yang terlalu jadul dan berat untuk dicerna dan malah terlupakan oleh para mahasiswa kita sekarang ini. Ruang-ruang diskusi semakin sempit, manakala mahasiswa semakin cuek dan menganggap mahasiswa yang suka untuk berdiskusi adalah mahasiswa yang terlalu serius, dan  dan sok-sokan sebagai Intelek kacangan bahkan ada anggapan bahwa suatu saat mereka-mereka ini pada akhirnya hanya berlomba mengejar “kursi-kursi kehormatan”. Anggapan yang timbul beragam ini menimbulkan sikap apatis akut dalam kalangan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa sekarang bukanlah lagi menjadi Agen of Change (Agen perubahan) akan tetapi malah menjadi individu-individu yang terseret arus perubahan itu sendiri. Mahasiswa tidak memiliki bekal mental yang cukup bagus dan jiwa yang cukup kritis dalam menyampaikan pendapat atau pertanyaan dalam berdiskusi apalagi dalam perdebatan dalam tataran intelektual. Keengganan untuk berorganisasi juga merupakan cerita tersendiri mahasiswa kita, padahal dengan berorganisasi, semua pengalaman akan muncul seiring proses-proses belajar yang dilewati. Lewat organisasi kita belajar bertanggung jawab, belajar menyampaikan pendapat, menghargai pendapat orang lain, sampai belajar kepada hal-hal yang lebih kompleks dan dihadapkan pada situasi real yang ada pada masyarakat.

Sikap atau pandangan kritis hendaknya kita timbulkan kembali, dan gerakan penyadaran terhadap semua pengaruh luar yang datang. Sudah bijakkah kita dalam melihat dan memaknai setiap hal baru? Sudahkah kita menjadi mahasiswa yang mengerti akan peran dan tanggung jawabnya? Sudahkan kita menyiapkan diri untuk menjadi bagian dari masyarakat yang dinamis? Sudahkah kita menjadi Agen Perubahan? Ataukah kita menjadi individu yang diubah oleh sistem? Kita kembalikan pada diri kita masing-masing, menjadi refleksi diri serta evaluasi kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline