Judul: Perjanjian Utang Piutang
Penulis: Gatot Supramono, S.H., M.Hum.
Penerbit: Kencana
Terbit: 2014
Cetakan: Ke-2, Juni 2014
Perjanjian Utang Piutang karya Gatot Supramono, S.H., M.Hum. merupakan buku Islam yang mencukup transaksi utang piutang dengan adanya pengembalian utang secara baik dan benar. Buku ini juga menjelaskan bagaimana cara menghadapi kebutuhan-kebutuhan manusia dalam mencukupi hidupnya. Terdapat dua pihak yang dapat melakukan perjanjian, yakni pihak yang memberi pinjaman uang dan pihak yang menerima pinjaman uang.
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa ia akan mengembalikannya. Perjanjian utang piutang termasuk dalam jenis perjanjian pinjam meminjam, sebagaimana diatur dalam Bab 13 Buku Ketiga KUHPerdata.
Dalam pasal 1754 KUHPerdata menyebutkan bahwa pinjam meminjam adalah perjanjian dengan pihak satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang yang bisa habis karena telah digunakan, dengan syarat barang yang dipinjam akan dikembalikan sejumlah sama denga napa yang telah dipinjam. Istilah pihak yang melakukan perjanjian tersebut yakni kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman (berpiutang) dan debitur sebagai pihak yang menerima pinjaman (berutang).
Terjadinya utang piutang ada dua macam, yaitu yang pertama karena murni perjanjian utang piutang dimana perjanjian tersebut dibuat semata-mata untuk melakukan utang piutang, seperti kekurangan modal untuk meningkatkan usahanya. Dan yang kedua karena adanya perjanjian lain yang sebelumnya sudah ada perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli mobil dengan cara menyicil, maka pembeli membayar uang muka dan penjual menyerahkan mobilnya dan perjanjian jual beli ini sudah selesai.
Macam-macam kreditur dibagi menjadi dua macam, pertama kreditur perorangan yang sifatnya pribadi dan kedua kreditur perusahaan/bank. Dalam perjanjian utang piutang juga dikenal adanya bunga bank / bunga atas utang karena baik dalam KUHPerdata maupun undang-undang lainnya memperjanjikan bunga bukan suatu kewajiban atau keharusan. Menurut Pasal 1766 KUHPerdata ayat (1) KUHPerdata tidak dapat menuntut atau mengurangi utang pokoknya. Jika terdapat perjanjian sebelumnya dimana terdapat bunga yang diperjanjikan mewajibkan debitur membayar sampai pada batas waktu yang telah ditentukan, maka debitur wajib membayar bunga kepada kreditur.
Bunga yang ditetapkan dalam perjanjian menurut Pasal 1767 ayat (2) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan besarnya bunga, meskipun telah ditetapkan pada perjanjian sebelumnya namun perlu diperhatikan batas kemampuan debitur untuk membayar bunga tersebut. Adapun bunga yang ditetapkan oleh pengadilan jika ada perkara gugatan yang diajukan. Dalam menetapkan besarnya bunga, pengadilan tidak bisa berbuat sewenang-wenang dalam mempertimbangkan sejumlah hal dari segi keadilan, kepantasan, kemampuan debitur, dan bunga yang berlaku di kalangan perbankan.
Kewajiban kedua pihak perjanjian utang piutang, pertama kewajiban kreditur yakni tidak dapat meminta kembali uang yang telah dipinjamkan kepada debitur sebelum batas pengembalian dan apabila debitur mengembalikan pinjamannya setelah ia mampu membayarnya, maka kreditur bisa menuntut pengembalian melalui pengadilan. Bentuk wanprestasi atau prestasi yang telah diperjanjikan tidak dapat melaksanakan sebagaimana mestinya oleh debitur, dan terdapat tiga bentuk wanprestasi:
- Utang tidak dikembalikan sama sekali, dimana debitur tidak mempunyai iktikad baik dalam melaksanakan perjanjian.
- Mengembalikan utang hanya sebagian, dimana utang yang dibayar baru sebagian kemudian selebihnya sulit diharapkan.
- Mengembalikan utang tetapi terlambat waktunya, dimana debitur masih mempunyai niat baik mengembalikan utangnya tetapi terhalang oleh usahanya yang sedang sepi sehingga debitur perlu sekali menunda pembayaran utangnyadan sebenarnya tidak ada niat untuk merugikan kreditur.
Buku ini juga menjelaskan tentang jaminan kebendaan, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Jaminan benda tersebut digunakan untuk menjamin utang debitur kepada kreditur apabila suatu saat debitur tidak dapat membayar utang kreditur. Barang-barang yang dijaminkan itu milik debitur dan apabila debitur telah wanprestasi atas utangnya maka jaminan dapat dimiliki oleh kreditur. Barang-barang yang dijadikan jaminan memiliki hak kebendaan, yakni hak yang dapat memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan oleh siapa saja. Ciri-ciri suatu hak kebendaan sebagai berikut:
- Bersifat mutlak, dapat dipertahankan oleh siapa saja
- Hak kebendaan mengikuti terus kepada bendanya kemana saja, meskipun terjadi pemindahan tangan hak milik
- Menganut sistem tingkatan, hak kebendaan yang ada lebih dahulu mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada hak kebendaan yang terjadi belakangan.
Dengan hak kebendaan, kreditur memiliki kekuasaan langsung terhadap barang jaminan semata-mata untuk kepentingan pelunasan utang.
Jenis barang ada dua macam, barang bergerak dan barang tidak bergerak. Barang bergerak adalah barang yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Sedangkan barang yang tidak bergerak adalah barang yang tidak dapat berpindah atau menyatu dengan tanah, seperti rumah dan jembatan. Jaminan barang bergerak, yakni pilihan hukum (kreditur daan debitur mempunyai pilihan hukum untuk menentukan jaminan mana yang akan dipilih), gadai, dan fidusia (pengalihan hak kepemilikan benda). Jaminan barang tidak bergerak, yakni hak tanggungan dan hipotek (hak kebendaan atas barang tidak bergerak yang dijadikan jaminan).