Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Kita Harus 'Menulis'?

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak hal yang mungkin akan selalu kau pertanyakan dalam hidup. Seperti mengapa, kapan, atau siapa. Pertanyaan yang jawabannya akan terkuak saat kau telah benar-benar menyentuh pertanyaan itu, tak hanya mengungkapkannya. Rasanya sama seperti saat kau menulis cerita. Kau takkan pernah tau apa yang kau tulis benar sebelum kau pernah benar-benar ada dalam kondisi itu. Ya meskipun tak semua orang peduli terhadap pembenaran pasti, tapi hati dan pikiran takkan peduli saat pena sudah berjalan mengikuti. Bahkan setiap tokohnya seperti hal yang mesti kau pertanggungjawabkan sampai semua telah berakhir dikata akhir. Tiap alurnya kadang juga berisi mimpi dan ambisi, beberapa mungkin akan terasa berlebihan. Itu mengapa kadang tulisan adalah cermin bagi penulisnya.

“Ingin tahu siapa dan bagaimana dirimu? Cobalah menulis sebuah cerita lalu baca kembali tulisanmu dan posisikan dirimu sebagai pembaca.”

Setelah itu kadang kau akan menemukan betapa sedihnya dirimu, betapa mengharapnya dirimu akan sesuatu, atau betapa ambisiusnya kamu.

Menulis itu ajaib. Jika kau takut membual di dunia nyata, kau bisa membual dalam sebuah cerita hingga kau lelah dan sadar membual itu sangat memuakkan. Atau kalau tidak, jika kau takut untuk jujur. Kau bisa menulis cerita yang berisi kejujuranmu hingga habis tak bersisa lalu kau akan sadar betapa leganya dirimu sehabis itu. Menulis itu seperti mata yang melihat, telinga yang mendengar, hanya saja tak bernyawa tak bersuara. Yang lebih ajaibnya lagi, kau mungkin tak bisa jadi Tuhan bagi orang lain tapi kau bisa jadi Tuhan untuk tulisanmu. Menulis menjadikanmu orang yang luar biasa. Mungkin belum bagi orang lain, tapi sudah bagi dirimu sendiri.

Setidaknya itu pandanganku, itu yang pernah dan telah menguatkanku. Saat tak ada telinga mau mendengar atau mereka mendengar tapi terlalu penuh protes, tulisan adalah telinga semu dunia yang dengan sukarela mendengar tanpa mengkritik. Tapi percaya saja, mungkin kau akan mengkritiknya sendiri nanti. Bisa besok, satu bulan atau satu tahun lagi. Saat kau membuka dan membacanya kembali.

Terakhir, kau juga dapat bonus. Sebuah Tiket perjalanan masa lalu secara cuma-cuma dan hanya kau yang bisa menyaksikannya. Hebat bukan! (Dz)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline