Lihat ke Halaman Asli

dilla rahma

Kompasianer

Cerita Perjuangan Alumni UMM hingga Menjadi Direktur PERIISAI

Diperbarui: 7 Maret 2021   10:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Dalam rangka meningkatkan reputasi penelitian Indonesia, dosen saat ini seolah dikejar-kejar target untuk menerbitkan artikelnya di jurnal internasional terindeks Scopus. Sayangnya, tidak semua dosen memiliki kapabilitas meneliti dan menulis artikel jurnal internasional. Belum lagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa publikasi di Scopus berujung sekian nominal yang harus dikocek dari kantong. 

Hal itu membuat Hastowohadi gusar. Bersama ketiga koleganya, ia pun kemudian mendirikan Komunitas Meneliti Banyuwangi yang kemudian bertransformasi menjadi organisasi Perkumpulan Peneliti dan Penulis Ilmu Sosial Indonesia (PERIISAI) yang mendapuk dirinya sebagai direktur.

Hastowohadi, M.Pd. merupakan alumni Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UMM. Pria asli Desa Cluring, Kabupaten Banyuwangi ini besar di keluarga pendidik. Ibunya mengawali karier menjadi guru TK, sementara ayahnya mengawali karier sebagai PNS guru SD dan SMP kemudian menjadi pengawas. Keluarga besar, terutama dari ayah, pun banyak yang berprofesi di dunia pendidikan.

Ibarat buah jatuh tak jauh dari pohonnya, lambat laun Hasto mulai berkeinginan menekuni profesi yang sama dengan kedua orang tuanya, yakni menjadi guru. Akhirnya, selepas SMA ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Malang lantaran ia sudah menyukai lagu Bahasa Inggris sejak kanak-kanak.

Usai lulus S1, Hasto mengajar di dua SMK swasta di Banyuwangi. Hal itu berjalan selama tiga tahun. Sampai akhirnya, ia bertekad untuk tidak larut di zona nyaman dan memutuskan untuk mengambil studi S2 meski dengan biaya pribadi. Namun, keputusan itu justru mengantarkannya pada takdir baru. Ia mendapatkan tawaran menjadi dosen bahkan sebelum menjadapatkan ijazah S2. Sebagai konsekuensinya, ia harus bolak-balik Malang-Banyuwangi setiap akhir pekan.

Semasa menjalani profesi sebagai dosen, Hasto menyadari betul bahwa ia masih awam dalam dunia riset dan publikasi. Padahal, dua hal itu adalah nyawa dari profesinya.

Hal itu dikarenakan cukup banyak perkuliahan S2 yang ditinggalkannya karena mengajar di dua kampus berbeda. Di salah satu kampus itu, ia bahkan  menjabat sebagai kaprodi. Alhasil, update keilmuan terbengkalai. Apalagi, tahun 2016 kondisi perekonomiannya jatuh karena ada masalah pekerjaan dan juga menderita sakit lambung yang cukup parah. Terpaksa, keinginan untuk belajar menulis tertunda karena harus fokus ke ekonomi dan kesehatan dulu.

Setelah kesehatannya agak pulih, ia menyempatkan ikut konferensi sana-sini untuk menimba ilmu. Waktu itu ia masih dalam kondisi yang pas-pasan, sehingga kadang ia terpaksa harus hutang sana sini.

"Pernah, saya nekat tetap berangkat dengan sepeda motor sendirian ke Solo untuk ikut konferensi, padahal saya belum bayar. Alhamdulillah di detik akhir ada teman yang minjami," pungkasnya.

Ada hal lain yang begitu mengganjal di hati Hasto. Bahwa ternyata untuk bisa terbit di jurnal internasional terindeks Scopus, penulis harus membayar sejumlah uang yang tidak sedikit dalam ukurannya. Bukan semata tentang nominal, tetapi praktik yang demikian ia rasa bertentangan dengan nuraninya.

Beruntung, koleganya, Sandi Ferdiansyah, mengenalkannya pada Prof. Handoyo Puji Widodo yang mematahkan kegusarannya. Tak hanya mengajari bagaimana menjadi peneliti dan penulis yang andal, Prof. Handoyo benar-benar menekankan bagaimana menerbitkan artikel Scopus tak berbayar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline