Lihat ke Halaman Asli

D.A. Dartono

Penggemar bacaan dan pegiat literasi.

Menanggapi La Ode Ida, Wakil Ketua DPD RI

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jawaban terhadap MD La Ode dalam artikel ‘Ahmadiyah bukan Islam haq’

Ahmadiyah Islam Haq

Dalam dunia sains, hasil percobaan dan kesimpulan sebuah telaah ilmiah ataupun  penelitan dapat dikatakan benar apabila didukung oleh metode dan piranti yang benar, data yang valid, serta analisis yang sesuai dengan  metode dan piranti yang digunakan. Kebetulan di dalam Harian Terbit, Selasa, 1 Desember 2009 terdapat tulisan saudara MD La Ode, seorang mahasiswa Program Doktor (S3) Jurusan Ilmu Sosial di Universitas Indonesia , yang berjudul, ‘Ahmadiyah bukan Islam haq’. Saya ingin memberikan tanggapan secara akademis terhadap tulisan tersebut apakah telah dibuat secara sistematis, memenuhi kaidah-kaidah ilmiah dan memenuhi asas kepantasan, karena ditulis oleh seorang calon doktor?

Di dalam tulisan saudara MD La Ode sekurang-kurangnya terdapat dua buah academic atau research questions, yaitu: (1) ingin mengetahui secara pasti apakah Ahmadiyah itu agama Islam atau bukan? (2) mengapa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan?

Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas saudara MD La Ode menggunakan studi literatur, khususnya untuk membandingkan persamaan dan perbedaan antara Islam arus utama dengan Ahmadiyah.  Dalam pembahasan berikutnya saudara MD La Ode sudah membuat sebuah asumsi bahwa Islam haq adalah keyakinan Islam yang sesuai dengan pemahaman dan jalan pikirannya. Literatur yang ia gunakan yang dijadikan pembenar adalah:

Pertama, definisi Islam yang diterangkan oleh Prof. Dr. Zakiah Darajat; kemudian diikuti dengan penjelasan yang berupa opini dari yang bersangkutan, namun tidak mengikuti sistematika yang diterangkan dari definisi tersebut. Sebagai contoh, Dr. Zakiah Darajat mengatakan bahwa agama Islam mengandung tiga unsur substantif, yaitu: (1) Rukun Iman, yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, serta Qadha dan Qadar; (2) Rukun Islam, yang meliputi syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji; (3) ihsan, berakhlak, shalih (ibadah kepada Allah), dan bermua’malah dengan sesama makhluk Allah dengan penuh keihlasan seakan-akan disaksikan oleh Allah.

Dengan tidak merujuk kepada definisi Islam yang dijelaskan Dr. Zakiah Darajat sebagaimana urut-urutan di atas tiba-tiba saudara MD La Ode mengatakan bahwa: (1) Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi/rasul, (2) Mirza Ghulam Ahmad mengaku  sebagai Masih Ma’ud, dan (3) Mirza Ghulam Ahmad mengaku nabi/rasul yang mendapat wahyu Tuhan, dan (4) Mirza Ghulam Ahmad mengaku kedatangannya sebagai kedatangan Rasulullah yang kedua, (5) Mirza Ghulam Ahmad mengklaim sebagai manifestasi dari semua nabi, dan (6) Mirza Ghulam Ahmad mengklaim mendapat mukjizat. Jadi bagaimana mungkin membandingkan tiga unsur substantif agama Islam dari Prof Zakiah Darajat dengan dengan keenam hal yang dikemukakan saudara MD La Ode? Seharusnya ia menanyakan kepada pengikut Ahmadiyah apakah mereka mempercayai Rukun Iman, Rukun Islam, dan ihsan, berakhlak, shalih serta mua’malah dengan sesama makhluk Alah dengan penuh keihlasan?

Saya merasa haqul yaqin bahwa semua pengikut Jemaat Ahmadiyah sepakat dengan definisi Islam yang dikemukakan Prof. Zakiah Darajat, dan mereka melakukan dengan sepenuh hati. Mereka percaya kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, Qadla dan Qadar, membaca syahadat setiap hari, menjalankan shalat 5 waktu (bahkan sebagian besar dari mereka melakukan shalat Tahajud secara teratur), menjalankan puasa wajib dan nafal, memberikan zakat secara dawam dan sangat terorganisir dengan baik, dan sebagian dari mereka telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah dan Madinah, pada umumnya mereka manusia yang berakhlak baik, shaleh, dan hidup bermasyarakat dengan baik. Semua unsur-unsur substantif tersebut terdapat di dalam syarat baiat yang diucapkannya pada saat pertamakali mereka bergabung ke dalam Jemaat Ahmadiyah dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian apa yang salah dengan keyakinan dan pelaksanaan agama Islam yang mereka jalankan? Lupakah saudara MD La Ode, bahwa dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali mualaf (orang yang masuk Islam) hanya membacakan syahadat sekali seumur hidupnya ketika proses akad nikah dan mereka tetap diakui sebagai umat Islam. Dengan demikian keislaman seseorang  identik dengan syahadat semata? Bukankah demikian prakteknya?

Kedua, pandangan Ir. Soekarno, (mungkin saudara MD La Ode tidak tahu bahwa hal ini tertulis di dalam buku ‘Di bawah Bendera Revolusi’). Jika Ir. Soekarno menolak menolak kenabian dan kemujaddidan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, maka hal tersebut merupakan urusan pribadi beliau. Tidak semua pendapat Ir. Soekarno benar, karena beliau tidak dituntun oleh wahyu Illahi. Sangat mungkin beliau salah. Pandangan Ir. Soekarno kemudian dibumbui oleh saudara MD La Ode dengan opininya sendiri tentang hal yang ia sendiri mungkin tidak faham seperti misalnya ia mengatakan bahwa kenabian Mirza Ghulam Ahmad adalah bentukan pemerintah Inggris. Apa dasarnya? Tidak ada fakta yang mendukung opininya tersebut. Mungkin ia hanya mengutip opini orang lain? Itukah cara-cara penulisan ilmiah dalam mencari kebenaran? Sebaliknya saudara MD La Ode tidak pernah menyatakan bahwa Ir. Soekarno di dalam buku tersebut memberikan pujian dan penghargaan terdahap karya Jemaat Ahmadiyah yang melakukan dakwah Islam di Eropa dan Afrika serta penerbitan buku-buku yang beliau katakan sangat rasional. Yang pasti Ir. Soekarno tidak pernah mengatakan bahwa anggota Jemaat Ahmadiyah
bukan Islam.

Ketiga, literatur yang berasal dari H.M Amin Djamaluddin. Salah satu diantaranya Amin Djamaluddin mengatakan bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad melakukan plagiatism terhadap Al-Qur’an. Baik saudara MD La Ode maupun H.M Amin Djamaluddin mungkin tidak tahu bahwa demikian banyak ayat-ayat Taurat yang sama atau mirip dengan Al-Qur’an. Cerita nabi-nabi mulai dari Adam, Nuh, Luth, Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, Daud, Sulaeman, ....... hingga Isa, telah tertulis di dalam kitab nabi Musa sekitar 2000 tahun sebelum kelahiran Islam. Cerita yang relatif sama juga termuat di dalam Al-Qur’an dan demikian banyaknya, sehingga saya tidak perlu memberikan contoh. Dengan demikian apakah nabi Muhammad telah melakukan tindakan plagiat atau membajak Taurat? Tentunya tidak demikian. Ketika Tuhan berkehendak maka Dia boleh saja dan tidak perlu meminta ijin kepada siapapun untuk memberikan wahyu yang sama kepada dua orang nabi yang berbeda masakehidupannya. Para ulama Yahudi dan Kristen boleh-boleh saja mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah plagiat dari kitab Taurat, tetapi umat Islam mengatakan bahwa cerita nabi-nabi yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah asli berasal dari wahyu Tuhan yang datang langsung kepada nabi Muhammad. Masing-masing agama dipersilahkan untuk membuktikan pendapat mana yang benar? Nampak sekali bahwa saudara MD La Ode hanya mengikuti apa yang dinyatakan oleh H.M Amin Djamaluddin sebagai sebuah kebenaran. H.M Amin Djamaluddin tidak pernah mengklaim menerima wahyu dari Tuhan, sehingga pandangan-pandangannya sangat mungkin salah. Pemahaman agama yang disampaikan H.M Amin Djamaluddin hanyalah sebuah tafsir dari kitab suci – bukan kebenaran haq.

Berkaitan dengan Tadzkirah, sejak berdiri lebih dari seabad yang lampau Jemaat Ahmadiyah tidak pernah memiliki kitab suci kecuali Al-Qur’an. Semua anggota Jemaat Ahmadiyah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an setiap hari. Tadzkirah hanyalah kumpulan mimpi, kasyaf, ru’ya maupun wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad selama hidupnya, kemudian disusun menjadi buku oleh Sir Zafrullah Khan jauh hari setelah kewafatan beliau pada tahun 1908. Tazkirah sama sekali bukan kitab suci bagi anggota Jemaat Ahmadiyah. Wahyu yang diterima seorang nabi tidak selalu berkaitan dengan kitab suci. Hanya sebagian kecil wahyu-wahyu yang diterima nabi Muhammad ‘masuk’ ke dalam Al-Qur’an, yaitu yang diberikan Tuhan pada malam-malam ganjil bulan ramadhan. Sungguhpun semua nabi-nabi menerima wahyu akan tetapi hanya beberapa
nabi saja yang ‘mendapatkan’ kitab suci. Contohnya, nabi Musa mendapatkan kitab Taurat, dan nabi-nabi setelah beliau mulai dari nabi Harun hingga nabi Isa mengikuti syariat Taurat, alias tidak membawa agama baru. Injil yang diberikan kepada nabi Isa bukanlah sebuah kitab syariat, dan beliau tidak pernah mendirikan agama. Artinya, jika Tuhan berkehendak Dia bisa memberikan wahyu atau berita lainnya kepada seseorang dikehendaki-Nya (baca Surah As-Syuura; 42:51). Wahyu yang diberikan Tuhan sebagaimana dalam surat tersebut tidak terkait dengan kitab suci maupun agama. H.M Amin Djamaluddin boleh saja menolak atau tidak percaya kepada wahyu yang diberikan Tuhan kepada seseorang, karena ia sendiri tidak pernah mengalami menerima wahyu sehinga tidak memahami hakikat wahyu. Apa yang dikatakan H.M Amin Djamaluddin belum tentu benar. Demikian juga jika saudara MD La Ode sependapat dengan H.M Amin Djamaluddin maka hal tersebut tidak ada yang melarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline