Lihat ke Halaman Asli

Nur Fadilah

Mahasiswa

Fenomena Sekolah Islam Terpadu Dalam Manajemen Pendidikan Abad 21

Diperbarui: 5 November 2024   19:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sekolah Islam Terpadu (SIT) telah menjadi pilihan populer di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia, dengan peningkatan
signifikan dalam jumlah siswa yang mendaftar di sekolah-sekolah ini dari tingkat TK hingga SMA. Fenomena ini mencerminkan keinginan orang tua untuk memberikan pendidikan berbasis Islam yang menyeluruh, yang tidak hanya mengutamakan aspek akademis tetapi juga pembinaan karakter dan spiritual sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam konteks manajemen pendidikan abad ke-21, SIT tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama tetapi juga berusaha untuk mengintegrasikan teknologi modern, pendekatan pengajaran inovatif, dan kurikulum yang relevan dengan tuntutan zaman. Keberadaan ribuan SIT di seluruh Indonesia, yang berada di bawah naungan Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), menunjukkan betapa kuatnya dukungan komunitas terhadap model pendidikan ini. SIT menonjol karena model pendidikan terpadu yang diterapkannya, yang mencakup pengembangan intelektual, emosional, dan spiritual siswa. Pendekatan ini bertujuan untuk membentuk generasi Muslim yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi dan kemampuan untuk berkontribusi secara positif di masyarakat. Pendidikan karakter menjadi salah satu fokus utama SIT, di mana nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan diajarkan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sekolah. 

Dalam manajemen pendidikan abad ke-21, yang diwarnai oleh perkembangan teknologi dan globalisasi, SIT berusaha untuk
mempersiapkan siswa menghadapi tantangan dunia modern. Kurikulum SIT sering kali mencakup mata pelajaran teknologi informasi, keterampilan berpikir kritis, dan kemampuan komunikasi yang efektif, yang semuanya esensial dalam era digital saat ini. Selain itu, SIT juga berfokus pada pengembangan keterampilan kolaborasi dan kepemimpinan, yang penting dalam masyarakat yang semakin saling terhubung. Namun, meskipun fenomena SIT berkembang pesat, tantangan tetap ada dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi. SIT perlu terus beradaptasi dengan perubahan tuntutan pendidikan global, sambil tetap menjaga nilai-nilai Islam yang menjadi landasan pendidikan mereka. Manajemen SIT harus kreatif dan responsif terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat, sambil tetap berkomitmen pada tujuan utama mereka: membentuk generasi yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.

Pertama, Kondisi pendidikan di Indonesia saat sekarang ini masih banyak terdapat permasalahan-permasalahan dan kekurangan-kekurangan misalnya rendahnya mutu dan kualitas pendidikan kita dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain kompetensi dan kelayakan guru di semua jenjang, jenis, dan satuan pendidikan masih relatif rendah. Prestasi belajar siswa masih rendah. Menurut hasil studi The Third International Mathematics and Science Study (IEA, 1999) menunjukkan bahwa di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2. Prestasi siswa Indonesia berada pada urutan ke 33 negara untuk mata pelajaran IPA dan urutan ke 34 untuk mata pelajaran matematika. Kemudian menurut hasil studi IEA (International Association For Evaluation of Education Achievement) menunjukkan bahwa keterampilan membaca kelas IV SD siswa Indonesia berada pada tingkat terendah. Sebagai gambaran perbandingan skor rata-rata  untukmembaca siswa SD adalah 75,5 (Hongkong), 74.0 (Singapura), 65.1 (Thailand), 52.6 (Filipina), dan 51.7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan. Anak-anak Indonesia sukar sekali menjawab soal-soal bacaan yang memerlukan pemahaman/penalaran. Berdasarkan hasil survey Bank Dunia (1998) melaporkan adanya sembilan faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, yaitu: struktur intensif guru yang tidak mendukung bagi penyelenggaraan pengajaran yang efektif, sedikitnya waktu untuk belajar siswa khususnya tingkat Sekolah Dasar kelas 1 dan 2, tidak tersedianya sumber belajar pada sekolah yang memadai, sebahagian besar guru tidak memenuhi syarat untuk mengajar bidang studi dan kurang memahami metode pengajaran yang baik, rendahnya mutu buku pelajaran, kurikulum yang sarat dan tidak terpadu, system penilaian yang tidak efesien, system manajemen kelembagan pendidikan yang tidak efektif, dan manajemen sekolah yang tidak efesien, terutama tugas dan fungsi kepala sekolah. 

kedua, Keadaan sekolah-sekolah yang berada dalam ruang lingkup pendidikan “ Islam”. Bagaimana dengan keadaan sekolah-sekolah yang berada dalam ruang lingkup pendidikan “ Islam” yang ada di Indonesia. Sumarna Surapranata, (dalam Afrizal), menyebutkan bahwa dari 100 sekolah swasta terbaik di Indonesia, berdasarkan hasil EBTANAS atau UAN,prosentase sekolah yang berada di bawah Yayasan “ Islam” ternyata hanya berkisar antara 7% sampai dengan 12% saja. Bila  dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah yayasan “ Kristen” dan yayasan “ Nasional”. Dunia pendidikan Islam tengah mengalami kegagalan, yaitu "gagal memanusiakan manusia (humanisasi), gagal membentuk manusia sesuai dengan visi dan misi penciptaanya. Kegagalan ini berimplikasi pada proses pendidikan materialistis, jauh dari nilai-nilai Islam dan berkarakter lemah.  Sehingga dari berbagai tantangan tersebut di atas; "dunia pendidikan sering dikritik oleh banyak masyarakat yang disebabkan perilaku pelajar maupun lulusannya yang menunjukkan sikap kurang terpuji. Para pelajar terlibat tawuran, pencurian, kriminal,kurang bermoral, sedangkan para pengangguran pada umumnya adalah lulusan akademik." 

ketiga, Reintegrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Dikotomi (baca:spesialisasi) antara ilmu agama dan ilmu non-agama sebenarnya bukan hal yang baru. Islam telah mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam. "Tetapi dikotomi tersebut tidak menimbulkan terlalu banyak problem dalam sistem pendidikan Islam, sehingga sistem pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui imperialisme. Hal ini terjadi karena sekalipun dikotomi antara ilmu- ilmu agama dan ilmu non-agama telah dikenal dalam karya-karya klasik seperti yang ditulis oleh al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, mereka tidak mengingkari tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan tersebut.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya dua model lembaga pendidikan formal di Indonesia. "Model yang pertama adalah sekolah- sekolah yang dikenal dengan sekolah umum seperti SD, SMP, dan SMU. Model yang kedua yaitu sekolah-sekolah yang dikenal dengan sekolah agama seperti MI, MTs dan MA. Model yang kedua inilah yang dalam sistem pendidikan nasional merupakan wujud dari lembaga pendidikan Islam. Di sekolah agama memiliki komposisi kurikulum 30 persen mata pelajaran agama sedangkan selebihnya 70 persen mata pelajaran umum".

Fenomena tersebut sekarang bukan hal yang asing, justru seakan sudah menjadi kebiasaan dan mesti terjadi kapanpun. Keadaan
tersebut harus segera disikapi secepat mungkin, sehingga antara pendidikan Islam dan pendidikan Nasional perlu merumuskan beberapakonsep, maupun strategi yang bisa menyelesaikan beberapa tantangan dan masalah yang dihadapi dunia pendidikan, karena  berbagai tantangan dan masalah di atas, dunia pendidikan mempunyai peran vital dan andil besar dalam memberikan solusi dan antisipasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline