Lihat ke Halaman Asli

AFTA 2015: We Are Not Ready, but We Can Be Ready!

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Asean Free Trade Area (AFTA) adalah sebuah bentuk kerjasama perdagangan dan ekonomi di wilayah ASEAN yang berupa kesepakatan untuk menciptakan situasi perdagangan yang seimbang dan adil melalui penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0 – 5 %) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN. AFTA, yang disepakati sejak tanggal 28 Januari 1992 ini, memiliki tujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia untuk menarik investasi, dan juga meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Dalam perumusannya, AFTA yang telah disepakati selama 20 tahun lebih ini, akan dilaksanakan pada tahun yang akan datang, tahun 2015. Apakah Indonesia, yang merupakan salah satu penggagas AFTA 2015, telah siap untuk menghadapinya?

Jawabannya adalah: “Indonesia Tidak Siap!” Mengapa? Karena Indonesia belum memiliki modal yang menjanjikan agar cukup untuk dikatakan “siap”. Indonesia masih memiliki banyak “pekerjaan rumah” yang belum sempat diselesaikan, dan hal ini akan menghambat bahkan justru akan menjatuhkan Indonesia dalam persaingan global yang kompetitif.

Jika ditilik dari kompetensi sumber daya Indonesia, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara penggagas AFTA lainnya. Hal ini dibuktikan berdasarkan indeks kompetensi yang dikeluarkan oleh World Economic Forum pada tahun 2013, bahwa Indonesia menempati urutan ke-50 atau lebih rendah dari Singapura (ke-2), Malaysia (ke-20), dan Thailand (ke-30). Rendahnya kompetensi sumber daya Indonesia diperoleh dari faktor-faktor yang saling berkaitan seperti: tenaga kerja/ahli profesi yang tidak memiliki kualifikasi mumpuni; minimnya pelaksanaan sertifikasi kompetensi; belum sesuainya kurikulum di sekolah menengah dengan keahlian profesi; serta sumber daya manusia di Indonesia yang sangat berlimpah namun belum dapat dioptimalkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, Indonesia dikatakan belum siap untuk menghadapi kuatnya persaingan tenaga kerja AFTA 2015 karena tenaga kerja Indonesia sendiri tidak akan cukup banyak yang mampu memenuhi standar yang dibutuhkan. Standar tersebut akan selalu meningkat seiring dengan tingginya persaingan kemampuan, keterampilan, pengetahuan, maupun kemampuan berbahasa, antar tenaga kerja negara-negara South-East.

Kompetensi sumber daya manusia dibentuk dari suatu pola pikir manusianya. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan kompetensi, pola pikir adalah aspek penting yang perlu diperhatikan. Pola pikir tenaga kerja maupun calon tenaga kerja harus mulai disesuaikan dengan tren abad ke-21, antara lain: pembelajaran yang mendorong manusia untuk mencari tahu dari berbagai sumber observasi; pembelajaran yang diarahkan untuk mampu merumuskan masalah, bukan hanya menjawab masalah; pembelajaran yang diarahkan untuk melatih berfikir analitis dan bukan berfikir mekanistis, serta pembelajaran yang menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah. Hal ini harus sudah mulai dibentuk sejak memasuki dunia pendidikan tingkat tinggi seperti SMA dan Perguruan Tinggi. Tren pola pikir di Indonesia saat ini cenderung masih menggunakan pola pikir yang konservatif, yakni hanya mencari jawaban tanpa mau mendalami suatu permasalahan; hanya berfikir dari satu sisi tidak secara keseluruhan; dan tidak membiasakan untuk berkoordinasi dan memecahkan masalah secara tim. Inilah yang menjadi akar masalah mengapa sumber daya manusia di Indonesia saat ini cenderung tidak berkembang.

Namun masalah kesiapan tidak hanya sebatas pada sumber daya manusia yang belum berkembang saja, tetapi usaha-usaha menengah yang tengah dirintis pun dapat menjadi tantangan tersendiri. Jika dipikirkan secara matang, Usaha Kecil Menengah (UKM) akan kalah saing dengan industri dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Tidak hanya berbeda secara standar baik dari segi produksi maupun jasa/pelayanan, tetapi juga dari segi sertifikasi/kualifikasi yang tidak mumpuni. Ini membuat para pelaku UKM di Indonesia merasa terancam. Dalam hal ini, pemerintah harus benar-benar turun tangan untuk mendukung UKM dengan cara mengklasifikasikan segala hal yang berkaitan dengan upah termasuk UKM, tidak hanya mengklasifikasikan industri saja. Indonesia dikatakan belum siap karena belum ada kebijakan pemerintah yang concern terhadap masalah UKM ini.

Seiring dengan permasalahan yang cukup pelik di Indonesia, daftar permasalahan diperkuat kembali dengan rendahnya kemampuan berbahasa asing khususnya bahasa Inggris. SDM di Indonesia akan kalah bersaing dengan SDM negara lain seperti Malaysia dan Singapura yang telah menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi sehari-hari. Dengan tidak bermaksud untuk mengesampingkan bahasa nasional kita yaitu bahasa Indonesia, tetapi kemampuan berbahasa asing ini sangat dibutuhkan untuk menjual kompetensi kita kepada industri luar negeri. Tentunya mereka tidak akan memahami makna pembicaraan kita jika kita tetap menggunakan bahasa sehari-hari dalam era pasar bebas nanti. Sedikitnya, kita harus mampu menguasai bahasa Internasional untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Namun inilah titik permasalahan bangsa Indonesia yang dikarenakan tidak kuatnya kurikulum bahasa asing di pendidikan yang menjadi salah satu faktor rendahnya kemampuan SDM Indonesia dalam berbahasa asing. Tidak heran jika nantinya kita akan kalah bersaing dengan tenaga kerja negara lain yang biasa berkomunikasi dengan bahasa asing.

Lantas, apakah Indonesia dinilai telah “siap”? Sekali lagi, jawabannya adalah: “Indonesia Tidak Siap!”. Masih sangat banyak persiapan-persiapan yang dibutuhkan dan juga komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk mempersiapkan SDM Indonesia di AFTA 2015 agar tidak kalah saing. Dua puluh tahun sejak kesepakatan AFTA tidak cukup untuk mempersiapkan SDM Indonesia yang berkualitas begitu saja. Hal ini dipahami karena begitu peliknya masalah-masalah lain di Indonesia seperti tingginya tingkat korupsi yang dapat mengalihkan pemerintah dari keseriusan menghadapi AFTA 2015. Hal lainnya ialah kenyataan bahwa perbatasan Indonesia sangat luas, baik berupa lautan maupun daratan, yang sangat sulit untuk diawasi.

Namun, apakah Indonesia mampu untuk “siap”? Jawabannya ialah: “Indonesia Bisa Siap!”. Dengan segudang masalah yang menimpa Indonesia, bukan berarti Indonesia tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan SDM-nya menghadapi AFTA 2015. Komitmen yang tinggi, keseriusan, dan juga kerjasama dari berbagai pihak sangat dibutuhkan disini. Hal ini dapat mungkin terjadi karena didorong pula oleh kenyataan bahwa daya saing ekonomi Indonesia tengah membaik. Setelah Indonesia dapat memahami prioritas masalah apa aja yang harus diselesaikan dan kekurangan apa saja yang perlu ditingkatkan, maka tahap selanjutnya adalah implementasi yang membutuhkan koordinasi dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan.

Apakah cukup melakukan persiapan hanya dalam waktu kurang dari 1 tahun? Mungkin tidak semua masalah dapat terselesaikan dan mungkin tidak semua kekurangan dapat ditingkatkan, tetapi setidaknya pemerintah Indonesia sedang dalam misi untuk mencapainya, dan pasti akan ada hasil yang terlihat walau tidak secara langsung. Dengan pemikiran positif dan juga sikap optimis, Indonesia di AFTA 2015 akan mampu untuk berkata: “Indonesia Tidak Siap, tetapi Indonesia Bisa Siap!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline