Embun diatas dedaunan pun sudah hilang diterkam matahari pagi. Semua jendela terbuka lebar, dewa angin singgah menyusuri ruangan dalam rumah kayu.
Hingga merayuku untuk keluar dari kamar dan melihat suramnya rabu. Rabu adalah warna abu. Tak ada yang istimewa semua terasa hambar bagiku.
Ibuku selalu berpesan untuk tidak keluar rumah setiap hari. "Sunah, jangan sampai ibuk memarahimu kayak minggu lalu".
Omelan ibu sebelum berangkat ke sawah yang pasti kudengar ketika melanggar aturan ibuk. Kadang saya pun merasa kesal jika ibuk selalu mengurungku.
Ibuk bekerja ke sawah dari pagi sampai sore. Jarang sekali ibuk di rumah . Palingan kalau hujan Tapi ibukku memang orang yang tidak pernah bisa diam. Selalu menyibukan diri.
Ibukku sangat akrab dengan semua tetangga. Tapi saya dilarangnya untuk berkeliaran di sekitaran rumah. Katanya lagi " anak perempuan itu, tidak boleh berkeliaraan keluar rumah" sebelum tersirat niat dihatiku untuk bermain kerumah sahabat kecilku.
Aku penasaran dengan kabar Ides setelah kelahiran anak pertamanya. Terakhir Saya melihat Ides ketika kandungannya sudah sembilan. Ides menetap di rumah mertuanya, dan baru kembali ke kampung dua minggu sebelum melahirkan.
Ides melahirkan di rumah. Karena masyarakat kampungku lebih percaya dengan dukun beranak untuk proses melahirkan dibandingkan sama bidan.
***
Masih tergiang ditelingaku kejadian suara Lelaki memanggil mak Lerong di tengah malam "Mak, Mak Lerong bangunlah mak, Ides ketubannya pecah, Mak" suara ketokan Pintu yang sangat kencang
Saya terbangun dan melangkah ke jendela kamar, berupaya mencari lubang kecil di jendela untuk bisa melihat keributan di rumah Mak Lerong.
"Ides, Ides anak siapa?" Jawab mak Lerong dengan binggung ketika memegang lampu pijar ditangganya