Lihat ke Halaman Asli

Diky Faqih Maulana

PositiveThinker

Sertifikat Halal: Dogma Agama dan Legalitas Usaha

Diperbarui: 30 Maret 2024   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Konsep Halal seringkali dianggap suatu hal yang tabu, dikarenakan menurut sebagian orang .. produk itu yang pentig bersih, aman, higenis dan bermutu. Namun seiring berjalannya waktu, konsep halal bukan suatu hal yang tabu lagi, karena isu ini telah menggeser paradigma masyarakat tentang halal. Pergeseran paradigma ini juga membuat konsep halal bertransformasi dari teologis-sosiologis-politis. Artinya setiap orang memahami konsep halal yang awalnya sebagai teologis (tanggung jawab individu / hamba kepada Tuhannya), lalu menjadi sosiologis (tanggung jawab berasama / sesama manusia untuk saling menjaga dan mengingatkan pentingnya halal) dan masuk ke ranah politis (halal dibahas dalam rancangan perundang-undangan sampai disahkan menjadi UU Jaminan Produk Halal)

Ajaran Islam memiliki porsi yang paten nan pasti dalam penentuan halal haram. Namun prinsip utama dalam konsteks keagamaan Islam, yakni dibalik adanya perintah dan larangan Tuhan, pasti ada alasannya. Secara filosofis, agama terkadang tidak masuk logika, akan tetapi konsep halal dalam agama Islam  justru sangat membuktikan bahwa agama dapat dilogika. Contoh konkrit perintah Tuhan kepada manusia untuk mengonsumsi rezeki yang halal dan thoyib. Perintah ini secara eksplisit menerangkan bahwa jika dianjurkan untuk konsumsi yang halal, lalu mana yang haram? dan kenapa diharamkan? Objek pengharaman diperlihatkan secara terang-terangan oleh Tuhan, seperti bangkai, darah, khamr, daging babi, hewan yang disembelih bukan karena Tuhan dan lainnya. Puluhan kajian dalam artikel ilmiah telah membuktikan bahwa ada hal yang membahayakan ketika seseorang mengonsumsi barang haram tersebut, baik bahaya bagi sendiri dan bagi orang lain. Bisa menimbulkan penyakit ataupun menyebabkan kerusakan pada organ tubuh.

Artinya Tuhan meminta manusia untuk senantiasa berpikir, bahwa apa yang dihalalkan pastilah senantiasa melahirkan suatu keselamatan, kemaslahatan dan kemanfaatan. Begitujuga sebaliknya, apa saja yang diharamkan pastinya akan menimbulkan kerugian, kesengsaraan ataupun kemafsadatan. Selamat dalam hal ini tidak hanya secara fisik yang kasat mata saja, namun ada keselamatan secara holistik; keselamatan akidah, rohaniah dan jasmaniah. Tidak berhenti disitu, selamat tidak hanya terjadi di dunia, namun juga di akhirat.

Sertifikat Halal jika didefinisikan menurut Pasal 1 UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang, adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang diterbitkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis atau penetapan kehalalan Produk oleh MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten atau Kota, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, atau Komite Fatwa Produk Halal. Konsep halal yang semula hanya didalihkan oleh satu agama saja yakni Islam, kini telah dilegitimasi dalam suatu perundang-undangan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Ada satu klausul yang menarik dalam UU JPH tersebut, yakni wajib halal / mandatory halal. Dalam hal ini Negara memberikan aturan yang cukup menarik, karena dalam Pasal 4 UU JPH menyebutkan bahwa Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. 

Beberapa klausul dalam UU atau regulasi yang berkaitan dengan Jaminan Produk Halal, membuktikan bahwa Produk di Indonesia tanpa adanya label halal tergolong produk yang belum lengkap legalitasnya untuk diedarkan. Hal ini mendorong para Pelaku Usaha harus senantiasa pro-aktif agar bagaimana caranya produk yang mereka miliki harus memiliki sertifikat halal. Dikarenakan adanya perubahan sifat sertifikat halal dari voluntary (suka rela) menjadi mandatory (wajib), maka Negara juga tidak tinggal diam, namun memberikan fasilitas Sertifikasi Halal Gratis, dan kemudahan prosedural pengajuan sertifikasi dikhususkan bagi Pelaku UMKM yang memenuhi kriteria. Namun bagaimana dengan produk yang non-halal? disebutkan dalam Pasal 2, PP Nomor 39 Tahun 2021 bahwa Produk yang berasal dari Bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal dan produk teesebut wajib diberikan keterangan tidak halal.  

Artinya tidak akan ada lagi produk beredar dengan status abu-abu, produk halal wajib berlabel halal sedangkan produk non-halal juga wajib diberikan keterangan tidak halal dengan memberi label haram, mengandung babi atau tanda khusus. Sehingga masyarakat secara luas, ataupun konsumen juga merasa terlindungi adanya kebijakan ini karena terdapat informasi yang jelas dari produsen kepada konsumen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline