Penyandang Disabilitas merupakan salah satu kaum minoritas di Indonesia yang disebutkan oleh Komnas HAM. Sampai saat ini, masih ditemukan banyak diskrimanasi bagi penyandang disabilitas di berbagai pelayanan publik, khususnya di wilayah perbankan. Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI) DIY, Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) DIY dan Ojek Difa DIY menyebutkan bahwa hanya sebagian kecil wirausahawan penyandang disabilitas netra yang telah berinteraksi dengan sektor perbankan, selebihnya cenderung berinteraksi dengan lembaga keuangan lain seperti koperasi yang didirikan oleh PERTUNI itu sendiri dan BMT. Mereka memilih demikian karena layanan perbankan dianggap cukup rumit atau kurang ramah difabel. Walaupun ada beberapa wirausahawan penyandang disabilitas fisik yang tidak kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan dari bank.
Selain itu, tingkat literasi keuangan pada penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta dari 100 responden yang diamati memiliki kategori rendah pada rata-rata nilai interprestasi sisi pengetahuan dan sisi kemampuan yaitu sebesar 28.29 persen dan pada sisi kemampuan yaitu sebesar 58.72 persen. Disitulah peran inklusi keuangan sangat penting bagi sektor perbankan dan masyarakat, misalnya dapat menurunkan biaya intermediasi yang cukup tinggi, serta secara langsung dapat meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencanangkan strategi nasional keuangan inklusif yang dijabarkan dalam 6 pilar yaitu: 1) edukasi keuangan, 2) fasilitas keuangan publik, 3) pemetaan informasi keuangan, 4) kebijakan atau peraturan pendukung, 5) fasilitas intermediasi dan distribusi, dan 6) perlingungan konsumen. Inklusi keuangan juga berperan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sehingga harapannya ini bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan serta menurunkan tingkat kesenjangan.
Karena inklusi keuangan yang baik dapat menyumbangkan aktivitas ekonomi bagi masyarakat yang selama ini tidak tersentuh langsung dengan sistem perbankan. inklusi keuangan bisa memberikan kesempatan kepada pihak perbankan dalam melakukan ekpansi pasar yang baru. Inklusi keuangan juga berperan serta meningkatkan pembangunan ekonomi, salah satunya dengan membantu meningkatkan HDI (Human Development Index) atau meningkatkan pengetahuan dan tingkat harapan hidup masyarakat. Dengan adanya peningkatan HDI tersebut, maka dapat membuat kesenjangan sosial dan ketimpangan pendapatan yang tidak melebar dan pada akhirnya dapat membantu pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan masyarakat.
Walaupun hak-hak hukum penyandang disabilitas secara eksplisit telah dirumuskan dalam UU No. 8/2016. Namun aturan hukum tersebut mengalami disharmoni karena ketidak sinkronannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur materi hukum yang berkaitan. Disharmoni antar peraturan perundang-undangan ini menimbulkan ambigiusitas, sehingga perlu dilakukan sinkronisasi horisontal terhadap ketentuan hukum tentang: harmonisasi peraturan daerah dengan UU No. 8/2016, spesifikasi definisi saksi sesuai keragaman disabilitas, kewajiban pendampingan bagi penyandang disabilitas terkait dengan kecakapan hukumnya, dan aksesibilitas penyandang disabilitas di berbagai lembaga. Sehingga pemenuhan aksesibilitas dalam setiap fasilitas pelayanan publik, khususnya pada perbankan merupakan bentuk penghormatan dan dalam mendukung kemandirian penyandang disabilitas terhadap pelaksanaan proses pelayanan publik. Aksesibilitas yang dibutuhkan termasuk kemampuan berkomunikasi kepada penyandang disabilitas dalam melakukan pelayanan publik pada bidang perbankan, seperti tersedianya huruf brailer, dan berbagai software penunjang kemudahan bagi nasabah yang memiliki keterbatasan.
Adapun berbagai upaya advokasi, sosialisasi, dan edukasi untuk mengubah cara pandang para pengambil kebijakan masih lemah. Sosialisasi mengenai pendekatan hak dan prinsip pembangunan inklusif penyandang disabilitas serta keberadaan dasar hukumnya pun masih lemah. Persoalan minimnya sosialisasi dan edukasi ini makin diperparah dengan adanya rotasi dan mutasi pejabat yang tidak dibarengi dengan alih pengetahuan yang memadai. Hal tersebut selanjutnya menganggu siklus pembangunan inklusif penyandang disabilitas yang sedang direncanakan atau dilaksanakan. Lebih jauh dari itu, dengan seringnya rotasi dan mutasi jabatan ini, proses advokasi pun harus dimulai dari awal lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H