Lihat ke Halaman Asli

Siapa Pantas Latih Timnas

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

PSSI baru saja menunjuk Benny Dollo sebagai pelatih cartaker Timnas senior. Pelatih kawakan itu sementara akan mengarsiteki Timnas hingga PSSI menunjuk pelatih tetap. Seperti kita tahu, Timnas kini tidak memiliki nahkoda sepeninggal Alfred Riedl. Kerjasama antara mantan pelatih Vietnam itu dengan PSSI tidak berlanjut setelah Timnas mendapatkan hasil minor di Piala AFF 2014 yang lalu. Alih-alih membuat sejarah dengan mengantar Indonesia keluar sebagai juara, Riedl justru membuat sejarah lain, yaitu kalah untuk pertama kalinya dari Filipina. What a genius.

Sekarang Riedl adalah masa lalu, PSSI harus segera mendapatkan pengganti yang tepat. Nah, Tiga kata yang terakhir itulah yang mengundang banyak opini publik. Mengenai siapa pelatih Timnas, tentu PSSI harus berpikir matang sebelum menentukan pilihan. Untuk jabatan yang penting ini, PSSI masih tertutup soal para kandidatnya. Untuk nama-nama pelatih seperti Rahmad Damawan, Benny Dollo, Indra Sjafri, dan pelatih-pelatih lain yang sudah terikat kontrak dengan klub ISL dipastikan sulit untuk menjadi pelatih Timnas. Kemungkinan besar nama baru akan muncul mengisi kursi panas tersebut.

Pertanyaannya kemudian, pelatih lokal atau pelatih asing? Besar kemungkinan pelatih asing yang akan menangani Timnas.Jika kita "adu" pelatih lokal dengan pelatih asing, harus diakui rapor pelatih bule masih lebih bagus. Tolak ukurnya adalah dari prestasi yang diberikan para pelatih asing tersebut masih di sedikit atas pelatih lokal. Prestasi di sini bukan berarti gelar juara semata, melainkan pencapaian Timnas di berbagai ajang bergengsi. Menengok jauh ke belakang, ada nama Anatoli Fyodorovich Polosin, pelatih yang mampu memberikan medali emas di Sea Games 1991. Bahkan jika kita melangkah jauh ke belakang lagi, pada masa-masa awal kemerdekaan dulu, seorang pria bernama Toni Pogacnik mampu membuat Indonesia menyabet medali perunggu Asian Games 1958.  Ya, medali perunggu artinya peringkat tiga se-Asia. Atau yang paling mudah melihat pencapaian Timnas adalah pencapaian Timnas di Piala AFF. Beberapa pelatih asing kerap mampu membawa merah putih ke babak final. Sementara tidak banyak pelatih lokal yang mampu menyamai pencapaian pelatih asing tersebut.

Jadi tidak salah jika kita mengatakan bahwasannya bersama pelatih asing, prestasi Timnas bisa lebih baik. Mungkin hanya nama Matulapelwa dan Indra Sjafri yang merusak pernyataan di atas. Nama pertama sukses memberikan medali emas Sea Games 1987 dan nama kedua memberikan gelar juara Piala AFF U-19 di tahun 2013. Selain Matulapelwa dan Indra Sjafri, Benny Dollo sebenarnya pernah memberikan gelar juara Piala Kemerdekaan pada tahun 2008. Namun rasanya gelar itu terasa kurang greget karena turnamen digelar sendiri oleh PSSI dan pada parta final sang lawan menolak melanjutkan pertandingan di babak kedua. Jadilah Indonesia dinobatkan sebagai juara karena lawan tak juga kunjung keluar dari ruang ganti.

Lepas dari persoalan pelatih lokal atau asing kini kita coba lihat persoalan lain, yaitu masalah kesempatan (dalam hal ini waktu). Jika anda ingin menjadi pelatih Timnas maka anda harus memiliki tongkat sihir. Pernyataan tersebut rasanya pas untuk siapa saja yang akan mengarsiteki Skuad Garuda. Pelatih yang menangani Timnas acapkali tidak diberikan waktu lebih. Tidak ada kesabaran, yang ada hanya kemauan instan. Pelatih yang gagal kemudian diganti, pelatih selanjutnya juga gagal ganti lagi. Paling lama seorang pelatih menangani Timnas adalah dua tahun. Tidak ada kesabaran dan kesempatan lebih yang diberikan kepada seorang pelatih Timnas. Relevansi kesabaran dengan pencapaian Timnas adalah pelatih akan lebih mengenal dan memahami pemain-pemain serta bentuk permainan yang cocok dengan negara yang ditukanginya. Andai dulu Ivan Kolev diberikan kesabaran untuk menukangi Timnas, bukan tidak mungkin ia mampu seperti Riedl dengan Vietnam atau Avramovich dengan Singapura. Kesabaran Vietnam kepada Riedl membuat negara ini menjadi negara Asia Tenggara pertama yang mampu lolos fase grup Piala Asia (Piala Asia 2007). Atau cerita Avramovich yang berhasil memberikan mahkota raja Asia Tenggara tiga kali kepada Singapura.

Berbicara mengenai negara-negara pesaing Indonesia di ASEAN, belakangan ini PSSI doyan memakai jasa mantan pelatih negara-negara pesaing regionalnya tersebut. Nama-nama macam Peter White (mantan pelatih Thailand) dan Alfred Riedl (mantan pelatih Vietnam) adalah buktinya. Kabarnya mantan pelatih Singapura, Avramovich diincar PSSI untuk menjadi pelatih Timnas saat ini. Namun lagi-lagi PSSI masih tertutup dan enggan memberikan info detail. Dua nama (White dan Riedl) sudah menjadi contoh gagalnya pelatih asing meskipun berpengalaman dalam regional ASEAN. Jadi kenapa harus Avramovic? Saya rasa masih banyak pelatih jempolan yang lebih laik daripada memilih mantan pelatih pesaing sendiri yang secara usia juga sudah terlalu "senior" macam Avramovic ini.

Kabar lain menyebutkan kandidat pelatih Timnas berasal dari Belanda, yaitu Aad de Mos. Pelatih yang dekat dengan Direktur Teknik PSSI,  Pieter Huistra, itu menjadi nama yang paling sering terdengar untuk mengisi kursi pelatih. Pria yang lahir dua tahun setelah Indonesia merdeka itu diklaim memiliki segudang pengalaman melatih. Tetapi apakah kita harus berharap kepada opa-opa yang pada tanggal 27 Maret nanti akan berusia 68 tahun? Okelah Spanyol pernah juara Eropa bersama opa-opa bernama Luis Aragones di tahun 2008. Namun Pelatih Spanyol itu pasti sudah hatam betul cara bermain dan karakter pemain-pemain Spanyol. Apakah Aad de Mos sudah paham mengenai cara bermain maupun karakter pemain-pemain Indonesia? Jika PSSI mengatakan iya, maka publik tidak akan semudah itu percaya. Andai dilakukan survey dengan pertanyaan di atas, hasilnya mayoritas akan mengatakan tidak atau paling bagus menjawab "saya ragu". Atau apakah prestasi Meneer Aad masih mentereng? Aad de Mos mungkin pernah memiliki masa kejayaan, tetapi itu dahulu tepatnya di era 80-an. Banyak yang mengapresiasi kemampuan dan analisa sepak bolanya, tetapi bukan untuk sebagai pelatih. Lebih tepat jika ia menjabat sebagai Direktur Teknik. Apakah kemampuannya berjaya di dekade 80-an bisa diaplikasikan di era sepak bola modern saat ini? Andai saya ada di depan anda dan melontarkan pertanyaan tersebut, apa jawaban anda? jika anda yakin silahkan jawab ya dengan lantang, dan jika anda ga enak bilang tidak, anda bisa jawab "saya ragu".

Lantas pelatih seperti apayang dibutuhkan Timnas? Untuk menjawab itu mari kita melihat sosok-sosok pelatih yang pernah membawa Timnas Berprestasi. Kenapa? karena mereka telah terbukti memberikan sebuah prestasi kepada Timnas. Ada nama Matulapelwa dan Indra Sjafri di pelatih lokal serta Toni Pogacnik dan Anatoli Fyodorovich Polosin untuk pelatih asing. Matulapelwa membawa skuad Garuda hingga babak semifinal Asian Games 1986 dan Juara Sea Games 1987. Indra Sjafri berhasil mempersembahkan gelar Piala AFF 2013 dan membawa Garuda Jaya lolos Piala Asia U-19 2014 sebagai juara grup. Jauh sebelum itu, Toni Pogacnik mampu menyabet medali perunggu Asian Games 1958. Sementara Polosin sanggup menyamai pencapaian Matulapelwa saat memimpin Garuda bertarung di ajang Sea Games 1991.

Apa yang bisa kita pelajari dari empat nama tersebut? Pertama, keempat pelatih tersebut, semuanya menerapkan disiplin yang tinggi. Kedisiplinan pemain benar-benar dijaga dengan ketat oleh para pelatih tersebut. Kedisiplinan itu jugalah yang membuat latihan fisik para pemain digenjot kencang. Bahkan di era Polosin, banyak pemain yang jatuh bertumbangan karena kerasnya latihan fisik yang diberikan. Tapi hasilnya luar biasa, yaitu gelar juara. Jadi kunci pertama adalah pelatih yang mampu menerapkan super disiplin. Tidak cukup hanya dengan disiplin, harus sangat amat disiplin. Hal ini juga relevan dengan sebuah pernyataan yang berbunyi "sebagian besar masyarakat Indonesia harus dipaksa." Jadi Pelatih yang tepat untuk Timnas Indonesia adalah pelatih yang mampu memaksa para pemainnya menerapkan disiplin yang tinggi.

Kisah heroik pernah diperlihatkan anak asuh Matulapelwa era 1986-1987. Mereka bertarung semata-mata untuk bangsa dan negara. Bagi mereka, masuk Timnas bukan berarti bisa pamer karena bisa mengenakan jersey kebesaran melainkan merupakan sebuah tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab itu dibayar tuntas dengan perjuangan mereka di lapangan. Berbeda sekali dengan saat ini, terkadang masih ada pemain yang egois saat di atas lapangan. Jadi kunci kedua adalah patriotik nasionalisme. Di sini peran pelatih untuk membakar motivasi dan patriotisme para pemain untuk berjuang di lapangan membela nama bangsa. Bermainlah untuk logo Garuda di dada bukan nama di belakang jersey. Tak jarang, pelatih jempolan di Eropa adalah seorang motivator yang handal. Salah satunya adalah Jose Mourinho. Sebuah cerita ketika musim lalu Chelsea bertandang ke markas kandidat juara saat itu Liverpool. Mou mengatakan kepada pemainnya bahwa Liverpool akan menjadikan Chelsea badut pertunjukan sebagai pelengkap pesta di panggung perayaan juara Premiership dan Chelsea tidak bisa membiarkan itu terjadi. Hasilnya, Chelsea pulang dengan kemenangan 0-2 dan merusak pesta Liverpool yang sudah di depan mata.

Semakin lengkap seorang pelatih jika ia mengerti cara bermain terbaik untuk para pemainnya. Ini pernah ditunjukan Ivan Kolev saat mengarsiteki Timnas di Piala Asia 2007. Saat itu Bambang Pamungkas dan kawan-kawan bermain mengandalkan operan-operan pendek dipadu kecepatan para pemain sayap yang diisi oleh Elie Aiboy dan Budi Sudarsono. Hanya ketidakberuntungan yang menggagalkan langkah Indonesia lolos dari penyisihan grup. Di era Kontemporer, Indra Sjafri mengikuti jejak Kolev saat menangani Timnas U-19. Garuda Jaya bermain dengan operan-operan pendek dipadu kecepatan para pemain sayap yang diisi Maldini Pali dan Ilham Udin. Banyak analis dan pengamat sepak bola menilai kelebihan Indonesia adalah di sektor kecepatan. Inilah yang harus dimanfaatkan oleh arsitek Garuda.

Merujuk ke tiga paragraf di atas, kini kita memiliki kisi-kisi atau indikator kapasitas pelatih yang pantas melatih Timnas. Orang awam seperti saya saja bisa mengira-ngira apalagi PSSI yang dihuni oleh orang-orang hebat. (Semoga) Analisa mereka lebih dalam dan akurat mengenai calon pelatih Timnas. Tetapi perlu diingat, sehebat apapun pelatihnya jika pengelolaan bal-balan di negeri ini dilakukan dengan tidak serius maka Timnas yang berprestasi hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline