Lihat ke Halaman Asli

Menengok Sejarah dan Asa Juara AFF

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Turnamen paling bergengsi seantero Asia Tenggara, Piala AFF 2014,  sudah di depan mata. Drawing pembagian grup menempatkan Indonesia tergabung di grup A bersama Vietnam, Filipina, dan Laos. Sementara di grup B  Singapura, Malaysia, Thailand, dan Myanmar akan saling “bunuh”. Vietnam dan Singapura akan menjadi tuan rumah untuk turnamen yang dulu bernama Piala Tiger ini. Sekedar informasi (bagi yang belum tahu), penyisihan grup Piala AFF akan dilaksanakan di Vietnam (untuk grup A) dan Singapura (untuk grup B). Masing-masing Juara dan runner-up grup akan lolos ke babak semifinal. Pertandingan babak semifinal dan final akan digelar dalam format home and away.

Sejak pertama kali Piala AFF dihelat pada tahun 1996, Indonesia belum pernah sekalipun merasakan gelar juara. Padahal Indonesia (dan Singapura) adalah negara yang paling sering masuk final. Indonesia dan Singapura sama-sama telah menjejakan kaki di final sebanyak empat kali. Perbedaannya adalah Singapura selalu memenangkan laga finalnya sementara Indonesia selalu kalah. Negara-negara raksasa ASEAN seperti Thailand, Singapura, Vietnam bahkan Malaysia saja sudah penah menjadi juara, hanya Indonesia yang belum. Tak ayal, AFF Cup 2014 menjadi kesempatan emas untuk “berbuka puasa” gelar.

Piala AFF 2014 yang akan dimulai 22 November nanti adalah edisi kesepuluh. Meskipun belum pernah keluar sebagai juara, sepak terjang Garuda di turnamen dua tahunan ini sebenarnya terbilang tidak buruk. Bisa dikatakan bahwasannya Indonesia adalah raja tanpa mahkota. Hanya butuh gelar juara saja untuk menasbihkan diri bagi Indonesia sebagai rajanya ASEAN. Berturut-turut Indonesia berhasil menembus final Piala AFF pada tahun  2000, 2002, dan 2004. Hanya Indonesia negara yang bisa melakukan Hattrick final seperti itu. Namun sayang cerita akhir selalu menyedihkan untuk kita. Di partai final, Timnas selalu keok oleh lawan-lawannya. Seakan-akan ada kutukan yang membelenggu Garuda sehingga selalu gagal menjuarai turnamen paling bergengsi di Asia Tenggara itu.

Cerita dimulai dari gelaran pertama Piala AFF, yaitu Piala Tiger 1996 di Singapura. Indonesia yang diarsiteki oleh Danurwindo  hanya sanggup melaju sampai semifinal. Sempat tampil ciamik dan keluar sebagai juara grup, selanjutnya Indonesia malah tampil antiklimaks. Di Semifinal, Indonesia takluk oleh Malaysia dan pada perebutan tempat ketiga kalah oleh Vietnam. Alhasil hanya tempat keempat yang bisa dibawa pulang oleh Timnas asuhan Danurwindo ke tanah air.

Edisi selanjutnya pada Piala Tiger 1998 giliranVietnam jadi tuan ruamh. Terukir cerita lain dalam gelaran Piala Tiger 1998. Turnamen itu menjadi lembaran kelam sejarah sepak bola Asia Tenggara secara umum dan Indonesia serta Thailand secara khusus. Lembaran kelam itu adalah terciptanya“sepak bola gajah” saat Indonesia bertemu Thailand di pertandingan terakhir babak penyisihan grup. Kala itu, baik Indonesia maupun Thailand sama-sama bermain setengah hati dan enggan menang. Hal itu dilatarbelakangi karena kedua tim berupaya menghindari tuan rumah Vietnam di babak semifinal. Pemain belakang Indonesia Mursyid Efendi melakukan gol bunuh diri (yang dianggap sengaja). Pemain yang bersangkutan pun diganjar larangan bermain di laga internasional seumur hidup. Sepak bola gajah itu akhirnya dimenangkan oleh Thailand dan Indonesia terhindar dari Vietnam. Meski tidak bersua Vietnam di semifinal, Indonesia tetap saja kalah. Cerita dua tahun lalu kembali terulang. Indonesia  kembali harus kandas di babak semifinal. Di babak semifinal, anak asuh Rusdy Bahalwan dikalahkan Singapura yang akhirnya berhasil keluar sebagai juara. Indonesia sendiri hanya mampu menjadi ketiga terbaik setelah mengalahkan Thailand di perebutan tempat ketiga. Meski gagal juara namun ada peningkatan prestasi dari hasil yang diraih pada turnamen sebelumnya.

Lepas dari cerita buruk di gelaran sebelumnya, Indonesia berhasil mendapatkan final pertamanya, yakni pada edisi ketiga atau tepatnya Piala Tiger 2000. Namun sayang, skuad merah putih takluk 4-1 oleh tuan rumah Thailand. Dibanding dua turnamen sebelumnya, prestasi Garuda meningkat karena mampu mencapai babak final. Meski gagal lagi, setidaknya ada peningkatan prestasi dari apa yang sudah diraih.

Piala Tiger 2002, giliran Indonesia yang menjadi tuan rumah.  Pada saat itulah Indonesia membuat kemenangan terbesar sepanjang kiprahnya di Piala AFF. Kemenangan besar itu terjadi ketika anak asuh Ivan Kolev melibas Filipina dengan skor luar biasa 13-1 di babak penyisihan grup. Indonesia kembali berhasil masuk final dan bertemu Thailand. Alih-alih melakukan revenge, sang Garuda justru kembali takluk kali ini lewat drama adu penalti. Bermain imbang 1-1 di waktu normal dan perpanjangan waktu, bentrok kedua tim harus dilanjutkan sampai babak tos-tosan. Dua algojo Indonesia, Sugiantoro dan Firmansyah, gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Thailand kembali menjadi mimpi buruk. Pupuslah harapan pecinta bola tanah air melihat Indonesia berjaya di Asia Tenggara. Timnas saat itu hanya sanggup menyamai rekor di edisi sebelumnya, hanya sanggup masuk final dan gagal menjadi juara.

Harapan mengukir prestasi lebih tinggi berlanjut di Piala Tiger 2004. Indonesia kembali dilatih oleh orang bule. Pelatih yang mengalahkan Indonesia di Piala Tiger 2002, Peter Withe, ditunjuk mengarsiteki Ilham Jaya Kesuma dan kawan-kawan. Di babak penyisihan grup, Indonesia tak terkalahkan bahkan tak pernah kebobolan.  Gawang Hendro Kartiko perawan tak tersentuh lawan. Indonesia keluar sebagai juara grup ditemani Singapura sebagai runner-up. Di semifinal Indonesia berjumpa tetangga sebelah, Malaysia. Setelah sempat kalah 1-2 pada semifinal leg pertama di Jakarta, Indonesia melakukan comeback gemilang dengan mengubur Malaysia 1-4 di Bukit Jalil. Penampilan anak asuh Peter Withe mengundang decak kagum publik tanah air. Bahkan negeri Kanguru Australia ikut penasaran dan mengundang Garuda melakukan pertandingan uji coba setelah turnamen selesai. Pada saat itu jugalah publik melihat kemunculan talenta berbakat bernama Boaz Salossa. Pemain yang dijuluki oleh Bambang Pamungkas sebagai “spesies langka di sepak bola tanah air” itu menjadi bintang Indonesia di Piala Tiger 2004. Namun sayang, cahaya kebintangan Boaz tidak bersinar di partai final melawan Singapura. Pada Leg pertama di Jakarta, Boaz dilanggar dengan sangat keras oleh pemain Singapura sehingga ia tidak bisa melanjutkan pertandingan. Wasit hanya memberikan kartu kuning padahal tackling yang dilakukan adalah tackling ilegal dan kotor. Pada laga final leg pertama di Jakarta, Indonesia dipaksa menyerah 1-3. Pada final leg kedua di Singapura, Peter Withe tetap optimis dan publik berharap Indonesia bisa comeback seperti saat menjungkalkan Malaysia. Tapi harapan tinggal harapan, Indoesia kembali takluk 2-1 sehingga kalah secara agregat 5-2. Gagal lagi, kandas lagi harapan untuk melihat negeri ini menjadi juara Asia Tenggara.

Kemesraan PSSI dengan Peter Withe berlanjut ke Piala AFF 2006.  Tangan dingin pria Inggris itulah yang membuat PSSI memberikan kesempatan sekali lagi. Namun dikesempatan kedua, Peter Withe malah gagal mempersembahkan yang lebih baik dari kesempatan sebelumnya. Jangankan masuk final atau juara, Saktiawan Sinaga Cs justru harus angkat koper pagi-pagi. Saat itu, pelatih yang pernah mengantarkan Thailand juara Piala Tiger itu merombak komposisi pemain, formasi dan gaya main. Tidak ada nama Boaz dan Elie Aiboy di lini sayap. Peter White juga merubah pola 4-3-3 menjadi formasi 4-4-2 ala Inggris. Indonesia harus kandas di babak penyisihan grup. Timnas gagal bersaing dengan Singapura dan Vietnam yang akhirnya keluar sebagai juara dan runner-up grup. Hasil itu membuat kontrak Peter Withe tidak diperpanjang oleh PSSI.

Setelah menggunakan jasa pelatih asing, PSSI kemudian mencoba jasa pelatih lokal. Pelatih berpengalaman, Benny Dollo, ditunjuk untuk mengarsiteki Charis Yulianto dan kawan-kawan di Piala AFF 2008. Kali ini Indonesia menjadi tuan rumah untuk yang kedua kalinya. Status tuan rumah gagal dimaksimalkan oleh Budi Sudarsono Cs. Main di rumah sendiri, anak asuh Bendol hanya sanggup menjadi runner-up grup karena kalah bersaing dengan Singapura yang keluar sebagai juara grup. Di semifinal Indonesia berjumpa dengan musuh bebuyutan sekaligus musuh lama mereka, Thailand. Untuk kesekian kalinya “lagu lama” kembali terdengar, Indonesia kandas di babak semifinal. Ponaryo dan teman-teman ditaklukan dua kali saat main di Jakarta dan saat tandang ke Thailand.

Benny Dollo kemudian digantikan oleh pelatih asing lagi. Setelah mantan pelatih Thailand kini giliran mantan pelatih Vietnam, Alfred Riedl. Dibawah tangan dingin pria kelahiran 64 tahun yang lalu itu, Indonesia menampilkan permainan atraktif sepanjang penyisihan grup sampai semifinal Piala AFF 2010. Pada babak penyisihan grup, Indonesia membantai Malaysia 5-1, serta mengirim pulang musuh lama, Thailand. Di semifinal Indonesia dua kali menghajar Filipina meski keduanya main di Jakarta (Filipina tidak mendapat izin menggelar pertandingan di negaranya). Tak heran jika saat itu Irfan Bachdim dan kawan-kawan sempat booming dan melahirkan banyak penggemar dadakan. Tapi cerita lama kembali terulang. Bermain di partai puncak, Indonesia justru tampil antiklimaks. Kali ini lawannya adalah Malaysia (tim yang dicukur habis saat penyisihan grup). Bermain di Bukit Jalil pada leg pertama, Gonzalez dan kawan-kawan tampil seakan tak bernyawa. Garuda kalah 3-0 yang membuat peluang juara menjadi berat. Meski pada leg kedua saat main di Jakarta Timnas berhasil  menang 2-1, namun Indonesia tetap gagal juara dan membiarkan “tetangga berisik” itu mengangkat piala di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kegagalan itu begitu menyakitkan, padahal Indonesia bermain apik secara keseluruhan. Padahal Indonesia hanya sekali kalah sepanjang turnamen. Isu suap, perjudian bola, sampai politisasi Timnas muncul ke permukaan menjadi kambing hitam. Ada kabar buruk yang mengatakan bahwa suap dan perjudian bola-lah yang melatarbelakangi kekalahan 3-0 Indonesia di final leg pertama. Akan tetapi kabar itu sampai detik ini belum bisa dibuktikan dan menjadi angin lalu.

Masuk ke edisi kesembilan, Piala AFF 2012, kondisi sepak bola Indonesia justru semakin tragis. Adanya dualitas kepengurusan dan dualitas liga adalah penyebab utamanya. Masalah yang pelik itupun berbuntut panjang. Timnas yang dikirim ke Piala AFF 2012 bukanlah pemain-pemain terbaik yang dimiliki ibu pertiwi. Banyak pemain debutan yang menghiasi skuad asuhan Nil Maizar kala itu. Hasilnya tentu mudah ditebak, Indonesia gagal lolos penyisihan grup dan memperpanjang puasa gelar. Andik dan kawan-kawan tak mampu berbuat banyak dan pulang kampung dengan wajah tertunduk.

Kegagalan Timnas saat itu melahirkan amarah rakyat yang tak lagi bisa dibendung. Desakan masyarakat agar PSSI berbenah diri terus berhembus kencang. Sampai pada akhirnya secara perlahan dualitas kepengurusan dan liga mulai dibenahi. Pada Piala AFF edisi kesepuluh ini, PSSI memasang target juara. Empat tahun berlalu Alfred Riedl kembali ditunjuk menukangi skuad Garuda.

Indonesia untuk kesekian kalinya kembali ditangani oleh Pria Bule. Sejarah mencatat, dari sembilan ajang Piala AFF yang sudah digelar, Indonesia terhitung memakai jasa pelatih asing sebanyak empat kali. Hasilnya adalah tiga kali menjadi runner-up turnamen dan satu kali gagal lolos penyisihan grup. Sedangkan untuk pelatih lokal, Indonesia terhitung mempercayakan posisi pelatih lokal sebanyak lima kali. Hasilnya, satu kali menjadi runner-up, tiga kali sampai semifinal dan satu kali gagal lolos penyisihan grup. Secara tidak langsung, sejarah mengatakan bahwa “buku rapor” pelatih asing masih lebih baik ketimbang pelatih lokal dan kini Timnas diarsiteki oleh pelatih asing.

Untuk masalah tempat, Indonesia sama sekali tidak bermasalah dengan tempat penyelenggaraan. Indonesia sama-sama mampu mencapai babak final ketika baik berstatus sebagai tuan rumah atapun tidak. Dari sembilan kali perhelatan Piala AFF, Indonesia sudah tiga kali menjadi tuan rumah. Saat menjadi tuan rumah, Indonesia selalu mampu lolos dari babak penyisihan grup. Bahkan tercatat dari tiga kali menjadi tuan rumah, dua diantaranya Indonesia mampu menembus babak final yaitu pada 2002 dan 2010. Adapun enam gelaran lainnya (saat tidak berstatus tuan rumah) empat kali Indonesia mampu lolos penyisihan grup. Dua dari empat kali lolos penyisihan grup itu, Indonesia berhasil masuk babak final yakni pada 2000 dan 2004. Dengan melihat catatan-catatan tadi, bisa dikatakan bahwasannya Timnas mampu melangkah sampai babak puncak baik saat menjadi tuan rumah ataupun tidak. Tinggal bagaimana menjaga konsistensi permainan di partai final agar tidak tampil antiklimaks.

Tahun ini atau Piala AFF 2014 ini situasinya sama (mirip) seperti Piala AFF 2006. Saat itu (2006), Timnas dilatih oleh Peter White dan Piala AFF digelar di Singapura. Persamaan pertama adalah Indonesia sama-sama tidak berstatus tuan rumah. Kedua, Indonesia sama-sama dilatih oleh pelatih asing. Ketiga dan yang membuat semakin serupa tatkala 2006 dan 2014 adalah kesempatan kedua bagi kedua pelatih asing itu. Piala AFF 2006 menjadi kesempatan kedua bagi Peter Withe dan Piala AFF 2014 menjadi kesempatan kedua bagi Alfred Riedl. Situasi bertambah mirip manakala kedua pelatih itu sama-sama berhasil meloloskan Indonesia sampai babak puncak di kesempatan pertama mereka. Peter Withe mengantarkan Indonesia ke final pada Piala AFF 2004 dan Riedl pada Piala AFF 2010. Lalu apakah hasil di kesempatan kedua juga akan sama? Tentu harapannya tidak. Harapannya adalah kesempatan kedua pelatih kelahiran Wina Austria itu digunakan dengan baik dan menoreh prestasi lebih baik dari kesempatan sebelumnya. Bukan malah mengukir cerita yang sama dengan pendahulunya,  Peter White.

Faktor sejarah terkadang memainkan perannya sendiri dalam sepak bola. Bahkan tak jarang faktor sejarah bisa mempengaruhi hasil dari sebuah pertandingan sepak bola. Akan tetapi catatan sejarah tidak bisa dijadikan patokan semata apa yang akan terjadi di atas rumput hijau. Dengan semangat memperbaiki diri sejarah kelam justru lebih potensial untuk membuat masa depan yang lebih baik. Tinggal bagaimana dan dari sudut pandang mana kita melihat sejarah. Bukankah sejarah itu bisa diubah. Bukan begitu Riedl?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline