Lihat ke Halaman Asli

Diki Umbara

Menulis dan Merayakan

Di Ujung Penantian Ajal

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di Ujung Penantian Ajal
oleh Isyia Ulfa & Diki Umbara

Peluh jatuh dari langit yang hitam memperlambat gerak.
Jalanan riuh, semua hendak bergegas. Angin meniupkan aroma tanah basah.
Sementara di ujung peta, wajah-wajah lusuh menebarkan warna sendu.

Dewasa hingga kanak-kanak mengenakan pita merah.
Ada yang hendak mereka rayakan. Kepergian kata mereka,
kadang menjadi awal ketidakcemasan.
Tangan-tangan mungil tak lagi mengindahkan balon yang beterbangan.
Kami tak ingin kehilangan pegangan, katanya.
Walau tak terlalu cepat bila ingin berbagi senyuman.

Sebuah kado besar terbuka. Berlimpah harapan terburai. Tapi adegan rebutan itu tak ada.
Gumpalan cemas menyemut di mana-mana.
Di setiap mata sepercik api tersulut gelisah.
Padahal kaki belum juga selesai dicuci.

Semula lurus kini jadi lengkung. Semula bular kini jadi oval.
Asa sudah lesap. Karena khianat, harap jadi lenyap.
Lengan terjulur ingin tersungkur.
Sadarlah kini; nirkata tak guna bukanlah dongeng semata.

Di bawah senjakala yang makin menua, semua rebah,
mata terkatup, ajal menjemput dengan senyuman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline