Mahligai Sang Pencipta masih megah berdiri ada
Kulihat ditiap sisinya tak berubah banyak
Interior dan eksteriornya pun masih sama seperti sedia kala
Hanya beberapa pohon dihalamannya lenyap entah apa sebab
Sebatang jalan masih begitu setia melayani penggunanya
Sebatang jalan bersolek entah berapa kali sudah
Disebelah utara mahligai Sang Pencipta ada kisah terkubur di ratusan purnama lalu
Wajah-wajah anak tangga itu kini tampak murung diselimut sendu
Wajah satu pohon rambutan tiada sudah direnggut senja usia
Namun ada satu wajah seorang dara kala itu
Wajah nan ayu bergaris sendu dalam pelukan senja
First kiss di mahligai Sang Pencipta
Bukankah kau ucap kata hanya perpisahan sementara
Pendakianku ke bukit Mega Mendung, tegas kau larang aku!
Bukan aku tak hirau keinginanmu!
Kau akan tahu maksudku itu kelak ketika ‘dewasa’ setia mengabdi dalam dirimu
First kiss; mahligai cinta
Rupanya ‘dewasa’ tak mengingkari titahnya untukmu
Kini kau telah menjadi seorang dara pendaki gunung, pecinta alam
Dan . . . . .
Pendakianku ke bukit Mega Mendung, tegas kau larang aku!
Ratusan purnama berlalu sudah dalam first kiss; mahligai nelangsa
Dalam-dalam kegelisahanku akan sebuah tanya
Aku titip di sebuah negeri puisi untuk Dara.
Ciledug, 24 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H