Lihat ke Halaman Asli

Dikdik Sadikin

Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Lembaga Filantropi di Tengah Ketimpangan

Diperbarui: 3 Februari 2025   06:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filantropi sebagai upaya mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin.  (Sumber: Freepik/Kredit Foto))

Lembaga Filantropi di Tengah Rimba Ketimpangan

Oleh Dikdik Sadikin

KERAP negeri ini disebut sebagai "tanah surga" karena kesuburannya, tetapi selalu juga kita jumpai jutaan cerita pilu tentang kemiskinan. Paradoks besar itu terasa ketika saya menghadiri acara Indonesia Humanitarian Summit (I-Hits) yang digelar Yayasan Dompet Dhuafa, di Hall Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, pada Kamis pagi, 23 Januari 2025. Di panggung I-Hits. Di situ Dompet Dhuafa menawarkan sebuah jalan: filantropi sebagai kekuatan melawan ketimpangan. 

Filantropi diartikan dalam KBBI sebagai cinta kasih (kedermawanan) kepada sesama. Kata ini berasal dari kata Yunani, dari "philo" yang artinya "cinta", dan "anthorophos" yang artinya "manusia". Filantropi dan charity mirip tapi punya perbedaan. Charity berasal dari Bahasa Latin "caritas",  berarti "cinta tak bersyarat" (unconditioned love). Perbedaanya adalah charity mengacu pada pemberian jangka pendek, sedangkan filantropi bersifat jangka panjang. 

"Kita harus kembali pada hakikat kekuatan Indonesia, yaitu jaring-jaring sosial berbasis komunitas," kata Yudi Latif, pembina Dompet Dhuafa, membuka acara itu. "Simpul-simpul sosial masyarakat adalah senjata ampuh menghadapi krisis pandemi, ekonomi, dan tantangan global lainnya." Sebuah harapan bahwa tangan-tangan kecil masyarakat dapat menambal celah yang tak mampu dijangkau oleh kebijakan formal.

 Indonesia Humanitarian Summit (I-Hits) Dompet Dhuafa,, Hall Usmar Ismail, Jakarta, 26 Februari 2025 (Sumber: Dokumen pribadi) 

Sepanjang tahun 2024, Dompet Dhuafa mencatatkan capaian luar biasa: menghimpun lebih dari Rp379 miliar dan menyalurkan hingga Rp418 miliar, dengan tingkat serapan fantastis mencapai 115 persen. Ahmad Juwaini, Ketua Dewan Pengurus Dompet Dhuafa, dalam pidatonya, menyebut capaian ini sebagai bukti nyata bahwa semangat filantropi mampu menjangkau masyarakat yang selama ini terpinggirkan. "Kami tidak hanya berbicara tentang angka, tetapi juga tentang kehidupan yang tersentuh, mimpi-mimpi yang kembali hidup, dan peluang-peluang yang tercipta untuk mereka yang paling membutuhkan," katanya.

Ahmad Juwaini, Ketua Dewan Pengurus Dompet Dhuafa.  (Sumber: dokumen pribadi)

Namun, apakah ini cukup? Aristoteles pernah berkata, "Keadilan adalah kebajikan terbesar dalam sebuah negara." Jika keadilan sosial adalah fondasi negara, mengapa tugas itu sering kali digeser ke pundak filantropi? Bukankah memastikan tidak ada rakyat yang tertinggal adalah tanggung jawab negara?

Sayangnya, bantuan negara kepada rakyat miskin sering terkooptasi oleh kepentingan pencitraan politis, ketidaktepatan sasaran, atau bahkan dikorupsi. Bantuan yang seharusnya menyentuh kebutuhan mendesak, tak jarang menjadi alat propaganda demi meraup simpati rakyat. Data keliru sehingga salah sasaran, birokrasi lamban, dan korupsi yang menggerogoti membuat rakyat kecil menjadi korban kebijakan yang hanya setengah hati.

Al-Ghazali pernah mengingatkan, "Kekayaan tidaklah tercela, tetapi kekayaan yang menumpuk tanpa distribusi adalah dosa sosial." Filantropi adalah oase di tengah kegersangan ini, tetapi tidak bisa menjadi alasan negara abai terhadap tanggung jawabnya. Tugas utama negara adalah memastikan bantuan tepat sasaran, terbebas dari korupsi, dan tidak sekadar menjadi alat politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline