Lihat ke Halaman Asli

Dikdik Sadikin

Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Seabad Pram: Antara Ideologi, Keadilan, dan Takdir Tuhan

Diperbarui: 2 Februari 2025   16:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Pramoedya_Ananta_Toer

Seabad Pram: Antara Ideologi, Keadilan, dan Takdir Tuhan

Oleh Dikdik Sadikin 

AKU membaca Pramoedya Ananta Toer dengan rasa waswas. Nama itu selalu diselubungi prasangka: penulis Lekra, simpatisan kiri, seseorang yang pernah bernaung di bawah panji-panji Partai Komunis Indonesia. 

Di lingkunganku, nama Pram tak lebih dari bayang-bayang masa lalu yang hendak dikubur bersama sejarah 1965.

Tetapi kata-kata memiliki kekuatan yang sulit ditolak. Aku di usia dua puluh tahun (1985) mulai dari Bumi Manusia, bukan karena ingin memahami Pram. Tetapi karena ingin tahu mengapa begitu banyak orang mengaguminya. Namun, semakin aku membaca, semakin sulit bagiku untuk sekadar membenci.

***

Pram adalah tokoh yang banyak dibenci sekaligus dipuja. Ia adalah penulis besar yang diasingkan oleh negaranya sendiri, tetapi dihormati di luar negeri. Karya-karyanya diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa, dibaca oleh akademisi dari Harvard hingga Sorbonne, tetapi di negerinya sendiri, ia dicap berbahaya.

Sebagian orang menganggapnya sebagai penyair kebebasan, seorang yang berani menantang tirani melalui kata-kata. Tetapi bagi yang lain, ia adalah pengkhianat bangsa, seorang yang pernah berada di lingkaran kekuatan kiri yang ditakuti. 

Pram dijebloskan ke Pulau Buru tanpa pengadilan. Bukunya dilarang beredar selama lebih dari tiga dekade. Tetapi gagasannya tetap hidup, beredar di bawah tangan, dibaca dalam sunyi, dan diam-diam membentuk cara berpikir banyak orang.

Dalam sebuah wawancara, Pram pernah berkata, "Saya ini musuh negara. Tapi saya bukan musuh rakyat." Kalimat itu menusuk. Ia bukan hanya berbicara tentang dirinya, tetapi tentang bagaimana sejarah menciptakan musuh-musuhnya sendiri.

Aku membaca Anak Semua Bangsa, lalu Jejak Langkah. Aku melihat bagaimana Pram membangun Minke menjadi seorang pemikir revolusioner, tetapi tetap tanpa menyinggung Islam sebagai elemen utama perjuangan. Ini mengingatkanku pada pertentangan lama antara Lekra dan kelompok Islam di tahun 1950-an, saat gerakan kebudayaan kiri menolak gagasan bahwa agama harus menjadi poros dalam kebudayaan bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline