Lihat ke Halaman Asli

Dikdik Sadikin

Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Renai Hujan di Bulan Januari

Diperbarui: 9 Januari 2025   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Dall-E


JANUARI selalu punya cara sendiri untuk meluruhkan apa yang pernah dibangun Desember. Hujan jatuh tanpa jeda, seolah hendak mencuci kenangan, membiarkan bumi meresapi sesuatu yang baru.
Di sudut kafe kecil di pinggiran kota, mereka bertemu lagi. Seperti menemukan oase di padang sahara,  setelah tahun-tahun yang terlalu panjang menunggu.

Awan, lelaki yang selalu membawa senyum seperti langit selepas badai, duduk di kursi kayu di pojok ruangan. Di depannya, meja kecil dengan dua cangkir kopi yang mengepul tipis, menawarkan kehangatan dalam dingin yang menggigit.

Di seberangnya, Kirana, perempuan yang pernah mencuri waktunya—dan hatinya—berada di sana. Matanya penuh cahaya, meski sedikit mendung bertengger di ujung bulu matanya.

“Mengapa hujan tak pernah berhenti di bulan ini?” tanyanya. Suaranya tenang, tapi ada serpihan rindu di sana yang tak bisa ia sembunyikan.

Awan tersenyum, matanya menatap keluar jendela. “Mungkin karena Januari adalah cara semesta mengajari kita untuk menumbuhkan sesuatu. Seperti pohon, Kirana. Kita butuh air untuk hidup.”

Kirana terdiam, memutar sendok kecil di cangkirnya. Waktu telah menjauhkan mereka, tapi memori tentang percakapan seperti ini tetap lekat. Awan selalu punya metafora untuk segalanya, dan itu yang membuatnya jatuh cinta bertahun-tahun lalu.

“Lalu, apa yang kita tumbuhkan kali ini?” tanyanya pelan.

Awan menatapnya. Ada jeda sebelum ia menjawab, seakan memilih kata-kata yang tak akan berakhir sia-sia. “Harapan,” katanya akhirnya.

Di luar, hujan semakin deras. Tetesannya seperti irama yang mengiringi cerita mereka. Kirana ingat bagaimana semuanya dimulai—di taman kecil, di bawah hujan yang sama. Dia ingat tawa Awan, bagaimana lelaki itu selalu membuat dunia tampak sederhana, meski saat itu mereka sama-sama tahu hidup tak pernah benar-benar mudah.

“Tapi harapan tak selalu tumbuh, Awan. Kadang ia mati bahkan sebelum sempat berakar.”

“Bukan karena hujan yang salah,” balas Awan cepat. “Kadang tanahnya memang belum siap.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline