Lihat ke Halaman Asli

Dikdik Sadikin

Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Kesetaraan Gender, Budaya dan Pancasila

Diperbarui: 24 Desember 2024   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber: Image Creator, Bing)

Saya menerima sebuah tulisan menarik tentang Priya dan Luca dikutip dari Web Australlia, dikirim seorang rekan, Maya Septiana, yang bekerja di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Dalam tulisan yang bernuansa kesetaraan gender itu, dikisahkan Priya dan Luca, dua anak yang tumbuh di dunia dengan dua dimensi berbeda: satu yang dihimpit norma gender yang membatasi, dan satu lagi yang terbebas darinya. Kisah ini, meski sederhana, mengilustrasikan bagaimana norma gender membentuk kehidupan manusia dari masa kanak-kanak hingga usia lanjut. Namun, di tengah refleksi itu, muncul pertanyaan: bagaimana dengan Indonesia, sebuah negeri yang kaya akan budaya dan adat istiadat, serta berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila?

Belenggu Gender di Indonesia

Di Indonesia, cerita Priya dan Luca terpantul dalam realitas sehari-hari. Sebuah survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa rata-rata perempuan Indonesia menghabiskan 5,5 jam per hari untuk pekerjaan rumah tangga tanpa bayaran, dibandingkan dengan laki-laki yang hanya mengalokasikan 1,5 jam. Rumah tangga menjadi ruang pertama di mana norma gender diterapkan, sering kali tanpa disadari.

Di sekolah, peran ini terus berlanjut. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023 menunjukkan bahwa hanya 30% siswa perempuan yang memilih program studi berbasis STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika). Sementara itu, siswa laki-laki didorong untuk mengejar jurusan ini dengan alasan "lebih cocok untuk pria." Realitas ini merefleksikan bias sistemik yang mengakar sejak dini.

Kasus nyata bisa dilihat dari cerita Tika, seorang siswi SMA di Jakarta yang bercita-cita menjadi insinyur. Namun, gurunya justru menyarankan agar ia memilih jurusan tata boga, karena "wanita lebih cocok di dapur." Tika akhirnya memilih arsitektur, tetapi perjuangannya untuk membuktikan diri di tengah stigma gender terus berlanjut.

Dunia Kerja: Panggung Ketimpangan

Ketika kisah Priya dan Luca Indonesia memasuki dunia kerja, ketimpangan semakin terlihat. Laporan Bank Dunia tahun 2022 menyebutkan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia hanya mencapai 53%, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 60%. Bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena tantangan struktural: stigma, beban ganda, dan ketimpangan upah.

Sebuah laporan oleh International Labour Organization (ILO) pada 2023 mencatat bahwa perempuan Indonesia masih menerima upah 23% lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang setara.

Namun, ada upaya untuk melawan arus ini. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mewajibkan pemberian cuti melahirkan dan fasilitas laktasi. Tapi implementasinya? Di banyak tempat kerja, perempuan yang mengambil cuti sering kali kehilangan kesempatan promosi.

Masih segar di ingatan kita kasus seorang pegawai perempuan di sebuah perusahaan BUMN yang diberhentikan secara halus setelah ia meminta cuti hamil. Pengadilan akhirnya memenangkan gugatan sang pegawai, tetapi proses panjang ini menunjukkan betapa sulitnya perempuan untuk sekadar mendapatkan hak dasarnya.

Membayangkan Dunia Tanpa Batas di Indonesia

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline