Di ruang-ruang kantor yang dulu penuh dengan hiruk-pikuk mesin fotokopi, kini terdengar alunan musik TikTok. Generasi Z---yang lahir antara 1997 hingga 2012---membawa semangat dan kebiasaan baru ke tempat kerja. Mereka seperti angin segar sekaligus badai kecil, menggoyang tradisi yang selama ini dianggap mapan.
Menurut laporan Future Workforce Report oleh Upwork (2024), 65% Generasi Z menganggap fleksibilitas tempat kerja sebagai prioritas utama. Namun, hanya 23% perusahaan global yang telah mengadopsi sistem kerja hybrid secara penuh. Mereka adalah generasi multitasking---menonton video pelatihan sambil bekerja---tetapi juga rentan terhadap "burnout". Data dari Deloitte menunjukkan 46% Generasi Z mengalami stres berlebihan terkait pekerjaan, angka yang lebih tinggi dibandingkan generasi milenial (40%).
Di Indonesia, fenomena ini terlihat dari survei Jakpat (2023) yang menemukan 67% pekerja Generasi Z lebih memilih perusahaan dengan kebijakan fleksibel daripada gaji tinggi. Namun, fleksibilitas itu sering kali berbenturan dengan budaya kerja konvensional yang mengutamakan kehadiran fisik di kantor.
Mengguncang Budaya Kerja Tradisional
Jika generasi sebelumnya melihat kantor sebagai tempat berkarier dan mencari penghidupan, Generasi Z melihatnya sebagai ruang untuk menemukan makna. Mereka ingin bekerja di tempat yang mencerminkan nilai pribadi mereka. Seperti yang pernah dikatakan Simon Sinek, "Pekerjaan itu adalah hal yang kita lakukan untuk menciptakan dampak, bukan sekadar untuk mendapatkan penghasilan."
Namun, gesekan tidak terhindarkan. Studi LinkedIn (2023) menunjukkan bahwa 60% manajer senior di Asia Pasifik menilai Generasi Z kurang menghormati hierarki dan terlalu banyak menuntut. Di Jepang, perusahaan-perusahaan tradisional menghadapi krisis retensi pekerja muda karena Generasi Z tidak lagi mau mengikuti jam kerja panjang yang menjadi norma. Sebaliknya, di Eropa, negara seperti Swedia telah lama menerapkan kebijakan six-hour workday, yang menarik minat Generasi Z dan meningkatkan produktivitas hingga 25%.
Di Amerika Serikat, Generasi Z kini membentuk 13% dari total angkatan kerja, dengan preferensi kuat terhadap pekerjaan berbasis teknologi. Hal ini sejalan dengan survei Pew Research Center (2024) yang menemukan bahwa 73% Generasi Z di AS menganggap keterampilan teknologi sebagai kunci kesuksesan kerja. Bandingkan dengan Indonesia, di mana hanya 55% Generasi Z merasa percaya diri dengan keterampilan digital mereka, menurut laporan Kementerian Tenaga Kerja (2023).
Di sisi lain, Korea Selatan menjadi contoh unik. Pemerintahnya memperkenalkan program Work-Life Harmony, yang mencakup subsidi bagi perusahaan yang mengadopsi kerja fleksibel. Hasilnya, 80% pekerja Generasi Z di Korea Selatan melaporkan peningkatan kebahagiaan kerja, jauh di atas rata-rata global sebesar 63%.
Antara Fleksibilitas dan Loyalitas
Sebuah kasus mencolok terjadi di Indonesia pada tahun 2023, ketika sebuah perusahaan teknologi lokal kehilangan 40% karyawan Generasi Z dalam waktu setahun karena tidak menawarkan kebijakan kerja fleksibel. Sebaliknya, perusahaan rintisan (startup) seperti Gojek justru menjadi favorit Generasi Z karena fleksibilitas tinggi dan program kesehatan mental yang inovatif.
Namun, ada pula tantangan. Dalam laporan PwC (2023), sebanyak 41% Generasi Z global merasa tidak siap menghadapi perubahan teknologi yang cepat, seperti kecerdasan buatan (AI). Di Indonesia, kasus seperti PHK massal akibat digitalisasi di sektor perbankan menjadi peringatan bahwa generasi ini harus terus meningkatkan keterampilan.