Lihat ke Halaman Asli

Dikdik Sadikin

Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Transformasi Perguruan Tinggi, dari Menara Gading Menjadi Mercu Suar Perubahan

Diperbarui: 11 Desember 2024   11:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Image Creator Microsoft Bing

Dalam bukunya, The Road to Serfdom, Friedrich Hayek pernah menulis bahwa "kemajuan sebuah masyarakat tidak diukur dari sekadar kekayaannya, tetapi dari kapasitasnya menciptakan inovasi." Jika Hayek benar, maka perguruan tinggi adalah salah satu jantung kehidupan bangsa. Di sinilah, di kampus-kampus yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, kita menggantungkan harapan akan masa depan Indonesia yang tak sekadar tumbuh, tetapi juga maju.

Namun, data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dari Badan Pusat Statistik (BPS ) 2023 menunjukkan hanya 7 persen lulusan perguruan tinggi yang terserap ke industri prioritas. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah gambaran nyata dari ketidaksinkronan antara mimpi dan kenyataan. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi laboratorium inovasi, malah sering menjadi pabrik yang memproduksi gelar semata. Sementara itu, industri, alih-alih menjadi mitra strategis, masih enggan membuka diri untuk menjelaskan kebutuhan SDM yang sebenarnya. Menurut data BPS tahun 2023, tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan perguruan tinggi mencapai 5,86 persen, menunjukkan bahwa banyak lulusan masih berjuang mencari tempat di pasar kerja.

Amich Alhumami dari Bappenas, dalam wawancara dengan Kompas (11/12) menyampaikan harapan besar dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025--2045. Di dalamnya, ada mimpi tentang Indonesia Emas 2045, tentang pusat-pusat keunggulan yang menjelma menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di berbagai pelosok negeri. Tetapi, mimpi ini membutuhkan jembatan. Dan jembatan itu adalah sinergi antara kampus dan industri -- yang hingga kini masih lebih mirip bayangan daripada kenyataan.

"Tanpa visi bersama, tidak ada masa depan," kata Antoine de Saint-Exupry. Di sini, visi bersama itu adalah bagaimana perguruan tinggi dan industri berbicara dalam satu bahasa: bahasa kebutuhan dan solusi. Tetapi bagaimana mungkin bahasa ini tercipta jika kampus masih sibuk mencetak lulusan tanpa memperhatikan kebutuhan pasar, sementara industri memendam informasi yang mestinya menjadi penuntun?

Pada tahun 2024, laporan Kemenaker mencatat bahwa 62 persen perusahaan di Indonesia merasa kesulitan mendapatkan tenaga kerja dengan keterampilan yang sesuai, mempertegas adanya ketimpangan ini.

Tanoto Foundation mencoba menjawab persoalan ini dengan kajian tentang pengembangan soft skills. Mereka menyebutkan bahwa mahasiswa Indonesia membutuhkan kompetensi yang tak hanya teknis, tetapi juga emosional dan interpersonal. Ini adalah temuan penting. Sebab, jika kita bicara tentang dunia kerja, kita tidak hanya bicara tentang kemampuan, tetapi juga adaptasi, kolaborasi, dan inovasi -- tiga hal yang sering absen dari kurikulum formal. Studi ini juga menemukan bahwa hanya 25 persen mahasiswa yang memiliki kemampuan komunikasi dan kerja sama yang memenuhi standar kebutuhan industri prioritas.

Namun, seperti biasa, kebijakan publik kita sering terjebak pada jargon tanpa implementasi. Program super tax deduction untuk industri yang mendukung pendidikan vokasi, misalnya, terlihat menjanjikan di atas kertas. Tapi seperti buku yang tak dibaca, ia belum memberikan hasil nyata karena minimnya partisipasi dari dunia usaha. Hingga kuartal ketiga 2024, hanya 18 persen industri prioritas yang memanfaatkan kebijakan ini, jauh dari target pemerintah sebesar 50 persen.

Lantas, apa yang harus dilakukan? Barangkali, jawabannya ada pada satu kata sederhana: keberanian. Keberanian untuk menjebol sekat-sekat sektoral yang memisahkan kampus dan industri. Keberanian untuk merancang kurikulum yang relevan, bukan hanya ideal. Keberanian untuk menciptakan kemitraan strategis yang menguntungkan kedua belah pihak. Data menunjukkan bahwa negara-negara maju seperti Jerman, yang memiliki sistem pendidikan dual (kombinasi teori dan praktik), berhasil menekan tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi di bawah 3 persen.

Selain keberanian, dibutuhkan pula visi yang menembus batas generasi, seperti yang dikatakan Nelson Mandela: "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia." Perguruan tinggi harus menjadi pusat dari perubahan ini -- tempat di mana ide, kerja keras, dan kolaborasi menghasilkan inovasi nyata.

Dan di penghujung hari, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah ini: Apakah kita siap menjadikan perguruan tinggi bukan hanya menara gading, tetapi mercusuar yang menerangi jalan bagi kemajuan? Masa depan ada di tangan kita, dan seperti kata Mahatma Gandhi, "Kita harus menjadi perubahan yang ingin kita lihat di dunia."

Kini saatnya kita bergerak, bukan untuk hari ini, tetapi untuk esok yang lebih gemilang.

  • Dikdik Sadikin
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline