Lihat ke Halaman Asli

Solusi Pandemi Selain Vaksin

Diperbarui: 27 Juli 2022   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ada sahabat yang mengkritik keras pendapat saya selama ini. Saya berpendapat vaksin bukanlah solusi yang tepat dalam menghadapi pandemi. Padahal vaksin telah jadi konsensus sebagian besar dokter. Didukung oleh kebijakan negara. Dan saya pun divaksin juga. Hingga kita juga harus mendukung kebijakan tersebut. Begitu kritik sahabat saya.

Buat saya, mau sebanyak apapun orang yang bicara, mau sepanjang apapun titelnya, mau didukung oleh kekuatan apapun, kalau bicaranya tidak berdasarkan teori yang establised di dunia kedokteran harus dipertanyakan. Apalagi sahabat saya yang getol memberikan peringatan dari Australia. Sekalipun saya tidak pernah mendengar ucapannya berdasarkan teori. Selalu yang dikutipnya adalah pernyataan lembaga. Begitu juga dengan melaksanakan bukan berarti setuju.

Tentu saja hal tersebut sangat memprihatinkan. Sebagai seorang ilmuwan, pertanggung jawabannya harus berdasarkan ilmu, bukan pernyataan lembaga. Meski vaksin telah memiliki sejarah yang cukup panjang dalam dunia kedokteran. Bukan berarti menjadi kebenaran mutlak yang abadi. Itu adalah hal yang lumrah dalam sains. Tidak perlu jadi sensitif akan hal itu.

Tidak heran jika suatu saat kebenaran ini bisa tumbang. Bukankah sains memang selalu berkembang?

Yang perlu diperhatikan dalam perkembangan sains tersebut adalah konektivitasnya dengan teori-teori sebelumnya. Jika sama sekali tidak ada hubungannya dengan teori sebelumnya bisa dipastikan, itu teori asal ngarang. Namun jika terkoneksi dan mampu menjelaskan teori sebelumnya, harus legowo untuk menerima teori tersebut.

Begitu juga dengan konsep autofagi. Meski seolah menjadi barang baru namun terkoneksi dengan teori-teori kedokteran sebelumnya. Semua temuan yang disampaikan para peneliti, peminat kajian autofagi dijelaskan berdasarkan teori-teori yang ada dalam dunia kedokteran.

Sayangnya dunia kedokteran tidak serius dalam mendalami autofagi. Malah banyak komunitas-komunitas lain yang mengklaim temuan autofagi sebagai dasar keilmuan mereka. Pendekatan autofagi jadi berubah sebagai pengobatan alternatif. Apalagi sejak pemberian hadiah Nobel pada Profesor Yoshinori Ohsumi di tahun 2016.

Temuan autofagi pada sel ragi oleh Ohsumi ditafsirkan sebagai terapi puasa. Banyak sekali para penganjur intermitten fasting menyandarkan prinsipnya pada teori autofagi temuan Ohsumi. Padahal autofagi tidak cuma bicara fasting (puasa). Tapi juga berbagai macam interaksi hormonal dan metabolisme energi.

Pemahaman autofagi sebagai puasa tidak hanya menimpa orang awam. Tapi juga banyak kalangan dokter. Beberapa sejawat yang mendukung teori autofagi lebih kepada nilai-nilai spiritual yang dianutnya. Makanya banyak yang kaget ketika ditunjukkan dengan fakta autofagi berdasarkan interaksi antar hormon. Suatu hal yang telah dirintis oleh Profesor Christian de Duve sejak tahun 1963.

Penjelasan mekanisme autofagi berdasarkan penjelasan temuan Profesor de Duve seolah menjawab berbagai pertanyaan dalam dunia kedokteran. Autofagi seolah menjadi 'theory of everything' dalam dunia kedokteran. Anehnya seolah selalu terasingkan. Termasuk para tokoh pendukung teori berdasarkan penjelasan Profesor de Duve.

Salah satu yang pantas disebut adalah Profesor Daniel J. Klionsky. Beliau telah menerbitkan buku berjudul 'Autophagy' pada tahun 2003. Juga jurnal 'Autophagy' di tahun 2007. Namun jarang sekali praktisi kedokteran yang mengenal namanya. Orang malah lebih mengenal nama Yoshinori Ohsumi sebagai penemu autofagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline