Lihat ke Halaman Asli

Memilih Gubernur, Bukan Penjual Baju Kotak-Kotak

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memilih Gubernur, Bukan Penjual Baju Kotak-Kotak

Oleh: Marlo Sitompul

"Kepemimpinan tidak dapat bekerja hanya dengan kharisma, pemimpin harus menjadi orang yang siap untuk bekerja.” [Ali Sadikin]

Jakarta merupakan wajah Indonesia. Multi kompleks. Multi dimensi. Oleh karena itu dibutuhkan seorang Gubernur yang tahan banting, bukan yang hanya bisa jualan baju kotak-kotak. Dari sebagian besar Gubernur DKI Jakarta, rata-rata memiliki sifat tahan banting dan petarung yang tangguh.

Gubernur pertama DKI Jakarta, Raden Suwiryo, merupakan pejuang kemerdekaan. Ia pernah ditangkap Belanda sewaktu menjadi Gubernur. Sosoknya selalu diingat sebagai orang yang gigih melawan penjajahan. Pengantinya, Daan Jahja, juga menghadapi situasi yang sulit. Masa Daan Jahja merupakan masa pemberontakan Kapten Westerling. Pada awal 1950, Jakarta menghadapi masalah administrasi dalam masa transisi dari pemerintah kolonial ke pemerintah NKRI. Dan Daan berhasil membenahi masalah itu.

Sjamsuridjal, Gubernur yang menggantikan Daan Jahja juga seorang pekerja keras. Kebijakan yang cukup terkenal pada masa kepemimpinannya adalah mengenai masalah listrik. Selain listrik, ia juga memberi prioritas pada masalah air minum, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kebijakan atas tanah. Ialah yang membangun pembangkit listrik di Ancol. Adapun untuk meningkatkan penyediaan air minum, dia membangun penyaringan air di Karet, penambahan pipa, peningkatan suplai air dari Bogor. Di bawah pemerintahan Sjamsuridjal, bidang pendidikan juga mendapat perhatian. Ia mendukung pengembangan Universitas Indonesia.

Sementara Sudiro yang menggantikan Sjamsuridjal, merupakan Gubernur yang berhasil menata adminitrasi Jakarta. Ia yang membagi Jakarta dalam wilayah kecil mulai dari Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Kampung (RK) yang kemudian jadi rukun warga (RW). Selain itu, ia juga memecah Jakarta sebagai satu kesatuan menjadi tiga wilayah administratif yang disebut kebupaten. Tiga wilayah tersebut adalah Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan.

Soemarno Sosroatmodjo merupakan Gubernur yang membangun Monas, Patung Selamat Datang, dan Patung Pahlawan di Menteng. Ia juga peduli terhadap kehidupan rakyat dengan membangun rumah minimum. Konsep rumah minimum ini adalah rumah dengan luas 90 meter persegi, dibangun di atas tanah 100 meter persegi, terdiri dari dua lantai, lokasinya dekat dengan tempat kerja. Proyek pertama rumah minimum dibangun di Raden Saleh, Karang Anyar, Tanjung Priok, dan Bandengan Selatan.

Henk Ngantung merupakan Gubernur yang paling pendek menjabat. Hanya satu tahun. Presiden Soekarno ingin Henk Ngantung bisa menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dan, Ngantung dinilainya memiliki bakat artistik.

Pengganti Henk Ngantung adalah Ali Sadikin. Bang Ali merupakan Gubernur DKI Jakarta yang paling populer. Ia dikenal sebagai Gubernur yang tegas dan memiliki wasawasan yang luas untuk mengubah Jakarta menjadi kota metropolitan. Ia membangun pasar, masjid, puskesmas, sekolah, pusat perkantoran, jalan tol sampai pusat-pusat perbelanjaan. Selain itu, Bang Ali juga mendirikan Taman Ismail Marzuki. Atas keberhasilan menata Jakarta, sang gubernur yang kharismatik ini menerima hadiah Magsaysay dari Filipina, 1971.

Tjokropranolo, pengganti Bang Ali merupakan Gubernur yang peduli dengan nasib buruh. Selama dia menjabat gubernur, dia sering mengunjungi berbagai pabrik untuk mengecek kesejahteraan buruh. Usaha kecil juga menjadi perhatiannya. Dia mengalokasikan sekitar 425 tempat untuk 46 ribu pedagang kecil agar dapat berdagang secara legal.

Itulah protret sebagian Gubernur yang telah memimpin DKI Jakarta. Dengan keuletan masing-masing, Kini siapa yang cocok memimpin Jakarta?

Figur yang cocok untuk menjadi Gubernur adalah orang ulet dan tegas. Ia tentu saja sudah mempunyai pengalaman untuk membangun Jakarta. Foke dikenal sebagai figur itu. Sebagai seorang yang pernah bersekolah di Jerman, ia sangat menjaga moralitas dan tidak mau ambil kompromi. Terbukti Foke tidak bisa disogok. Ia selalu menjalankan pemerintahan sesuai dengan peraturan yang ada. Posisi Foke yang tak mau berkompromi ini yang membuat orang-orang yang mengejar uang menjadi marah. Maka mereka berusaha menggusur Foke dalam Pilkada DKI Jakarta.

Dalam hal ketegasan, sosok Foke ini mirip dengan Bang Ali. Ia berani mengambil resiko demi masyarakat Jakarta walaupun beberapa pihak menentangnya. Usahanya membangun Kanal Timur yang awalnya ditentang, sekarang sudah dirasakan penduduk Jakarta manfaatnya. Pun, dengan proyek-proyek Foke yang lain.

Karakter Foke yang peduli dengan wong cilik mengingatkan pada sosok Tjokropranolo. Ia menggelontorkan program Jamkesda (JPK GAKIN) yang sangat menolang masyarakat miskin Jakarta. Program kesehatan ini terbukti telah membantu puluhan ribu rakyat miskin Jakarta. Foke juga membuat program akte kelahiran gratis bagi warga miskin. Dengan program ini warga Jakarta bisa memiliki akte kelahiran. Program pendidikan gratis juga sudah dirasakan manfaatnya. Program ini telah menekan anak yang putus sekolah. Sekarang warga Jakarta minimal bisa menikmati sekolah gratis sampai SMA.

Jaringan transportasi massal yang dijalankan sejak Bang Ali juga diteruskan secara konsisten oleh Foke. Konsep tranportasi Foke walupun belum berjalan dengan maksimal tetapi sudah bisa memberikan sarana transportasi yang layak pada warga Jakarta. Kemudahan sarana transportasi ini telah membuat mobilisasi warga Jakarta menjadi semakin mudah. Sosok Foke yang peduli dengan pembangunan fasilitas umum mengingat pada sosok Sjamsuridjal.

Oleh sebab itu, Foke sudah merupakan sosok yang tepat untuk melanjutkan pembangunan Jakarta. Sebagai orang yang telah lama berada di Jakarta, Foke tentu sudah mempunyai pengalaman untuk mengatur Jakarta. Masa pemerintahannya lima tahun lalu merupakan bekal untuk melanjutkan mengubah Jakarta menjadi kota yang maju dan sejahtera.

Sekali lagi, kita sedang memilih Gubernur, bukan penjual baju kotak-kotak.

Foke sosok yang tepat.

Ayo coblos Foke pada tanggal 20 September 2012.

Jangan sampai kita memilih kucing dalam karung yang belum pengalaman memerintah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline