Pamer harta di media sosial seringkali dilakukan oleh kalangan pebisnis baru atau yang disebut Crazy Rich. Crazy Rich adalah istilah Bahasa Inggris yang berarti super kaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Crazy Rich artinya orang yang kaya gila, kata kaya berarti mempunyai banyak harta, sedangkan kata gila berarti gangguan jiwa atau tidak sebagaimana mestinya Dengan demikian, istilah kata kaya gila dapat dimaknai dengan mempunyai banyak harta. Para Crazy Rich seringkali mengumbar kekayaanya melalui media sosial, dengan cara memamerkannya. Selain secara individu, konten flexing yang disiarkan oleh para Crazy Rich menjadi fokus utama media mainstream untuk berlomba-lomba menayangkan serta membuat program yang memfasilitasi para Crazy Rich ini untuk melakukan flexing atau mengumbar kekayaannya.
Flexing atau pamer merupakan hal yang sudah menjadi hal umum dikalangan masyarakat terutama di media sosial. Menurut Windyaningrum dkk. (2022), flexing adalah bentuk konten informasi untuk menarik perhatian masyarakat. Istilah flexing atau memamerkan kekayaan, menurut Cambridge Dictionary (2013), flexing adalah memamerkan sesuatu yang dimiliki atau digapai tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. Sedangkan menurut kamus Merriam-Webster dalam Windyaningrum dkk. (2022), flexing adalah memamerkan sesuatu atau yang dimiliki secara mencolok. Lalu, flexing yang ramai di media sosial, menurut Kasali (dalam Lathifatuddini, dkk, 2022) bertujuan untuk marketing. Kasali menjelaskan dalam kaitan dengan bisnis, masyarakat cenderung mempercayai orang-orang yang menunjukkan kekayaan mereka (Lathifatuddini, dkk., 2022). Kesuksesan pembisnis tersebut melalui flexing mengkokohkan kepercayaan para investor atau siapapun yang berniat untuk terlibat dalam bisnis yang dijalani, dengan harapan para investor atau masyarakat juga akan mampu mencapai kesuksesan tersebut. Flexing semakin mudah terlihat karena adanya media sosial. Media sosial memberikan tempat untuk orang orang melakukan flexing ketika memiliki sesuatu untuk dipamerkan. Secara online, orang juga ingin dikenal sebagai seseorang yang mempunyai kekayaan, menarik secara fisik, cerdas, dan populer.
Menurut Pohan dkk. (2023), flexing merupakan kata gaul yang berasal dari Amerika yang memiliki arti suka menampilkan diri sendiri dengan menonjolkan keglamoran, kelimpahan maupun kekayaan yang dimiliki seseorang. Banyak sekali kita menemukan seseorang yang membangun personal branding atau citra dirinya dengan cara memamerkan harta yang ia miliki ( Ketut Putu & Sinarwati, 2022:2). Hal ini sudah menjadi kebiasaan di kalangan kita sebagai upaya menarik perhatian publik. Fenomena flexing terjadi karena ada rasa ingin populer sehingga menggunakan cara pamer agar dikenal oleh khalayak.
Menurut Pakpahan dan Yoesgiantoro (2023), flexing sudah menjadi kebiasaan baru dalam mempertontonkan kemewahan dan gaya hidup melalui unggahan foto, video di media sosial; instagram, tiktok, facebook, yotube dan yang lainnya. Flexing semakin fenomenal dengan adanya persepsi bahwa kekayaan dan gaya hidup hedonis atau glamor mampu meningkatkan status sosial, kehormatan dan prestise di masyarakat.
Saat ini pamer bukan hanya hal yang bersifat nyata namun sudah bercampur dengan kebohongan. Isi komten yang dipublikasi belum tentu sama dengan realita. Namun hal tersebut adalah salah satu cara agar menaiknya popularitas. Cara pamer dan bentuk-bentuk polularitas yang ingin dituju oleh pengguna tidak selalu sama tergantung dengan tujuan masing-masing. Parahnya, flexing tidak memandang aturan agama melainkan fokus pada tujuan utama yaitu untuk popularitas. Semua agama menjelaskan untuk jauhi sifat pamer karena akan mebawakan pada keburukan. Pengguna media sosial saat ini terlalu mementingkan keperluan diri sendiri sehingga tidak memikirkan apa yang seharusnya dilakukan untuk memberikan dampak positif bagi pengguna media sosial lain. Pengguna media media sosial harus memberikan edukasi pada pengguna lain agar memunculkan dampak positif bagi kedua belah pihak.
Dalam berinteraksi, setiap orang pastinya tidak akan bisa lepas dari pengaruh lingkungan dan tentunya orang-orang yang berada di lingkungan tersebut memilki pengaruh yang benar benar signifikan. Gaya hidup yang dimiliiki seseorang menyajikan segala sesuatu saat berinteraksi didunia nyata maupun didunia maya. Terdapat dua aspek yang berdampak pada gaya hidup seseorang yaitu aspek yang berasal dari dalam diri masing-masing orang (internal) dan aspek yang berasal dari luar diri (eksternal) individu tersebut (Pohan dkk., 2023). Aspek internal yaitu sikap, pengalaman dan pengamatan seseorang, kepribadian, konsep diri dan persepsi.
Berikut penjelasan mengenai aspek-aspek internal:
Sikap.
Sikap merupakan keadaan dari dalam diri setiap individu yang muncul berdasarkan apa yang ditanam dalam diri. Seperti membaca koran atau majalah maka sikap yang akn datangl diiringi dengan pengetahuan (Gasong, 2018:165). Sikap setiap orang dapat didefinisikan sebagai cara pandang orang tersebut dalam melihat sesuatu. Cara pandang ini bisa terpengaruh oleh pengalaman dan wawasan. Sebuah budaya yang hidup diantara kita juga menjadi komponen dalam mempengaruhi sikap seseorang. Lingkungan sekitar juga memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap kebiasaan seseorang dalam membentuk sikap. Ketika kita berhadapan dengan orang yang berlaku flexing, maka akan menular bagi semua orang disekitarnya. Oleh karena itu perlu filterisasi dalam bersosialisasi.
Pengalaman dan peninjauan.
Pengalaman setiap orang akan berbeda berdasarkan latar belakang. Pengalaman dari setiap orang bisa memberi pengaruh tentang cara pandang orang lain terhadap sesuatu. Fenomena flexing dilihat secara berbeda melalui sudut pandang setiap orang. Ada yang menganggap flexing bisa mewujudkan dampak positif dan ada juga yang beranggapan bahwa flexing dapat memberikan dampak negatif sehingga ada seseorang yang melakukan flexing dan ada yang tidak.