Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Boleh Tidaknya Ucapkan “Selamat Hari Raya”

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tersentak karena menyadari bahwa negeriku ternyata sampai saat ini masih menggunjingkan boleh tidaknya mengucapkan "Selamat Natal". Padahal, sejak dahulu kala telah terjalin kerukunan dan saling pengertian yang sangat kental di negeri ini. Lantas kenapa sekarang masalah mengucapkan "Selamat Natal" masih juga diperdebatkan.

Setiap orang punya hak untuk menyampaikan atau tidak ucapan selamat tersebut. Kita harus menghargai itu. Yang seharusnya menerima ucapan jangan menggerutu jika tidak mendapat ucapan selamat, begitu juga yang berniat mengucapkan selamat, tetapi batal karena alasan tertentu juga jangan terus menggunjingkan hal yang tidak perlu dibahas ini. Para pemuka agama kedua belah pihak juga harus berhenti mempengaruhi umat / jemaah-nya dan memperdebatkan hal yang tidak penting ini.

Tetapi, keluarga saya yang beragama Islam dan bersuku Melayu yang ada di pedalaman rimba Sumatera, tepatnya di tengah hutan rimba Bengkulu sana sebagian ada yang mengucapkan “Selamat Natal” ke saya, sebagian tidak. Mereka menyadari bahwa saya pernah memeluk agama Islam dan mereka pasti tahu betul bahwa saya tidak akan menggerutu jika saya tidak mendapat ucapan selamat.

Saya menghargai itu jika mereka tidak mengucapkan, mungkin saja mereka lupa atau ada alasan tertentu sehingga mereka tidak mengucapkan selamat. Sekali lagi, saya harus menghargai hal itu, Itu hak setiap orang! Jangan malah diperdebatkan! Sama halnya ketika saya hanya mengucapkan “Minal Aidin Wal Faizin” ke sebagian teman-teman yang merayakan Lebaran. Teman – teman saya sangat menghargai saya.

Mereka paham, mungkin saja saya lupa atau ketiduran, soalnya semalaman bergadang karena saking antusiasnya menyambut Lebaran karena besoknya bakal dapat banyak ketupat dan opor ayam dari tetangga – tetangga. Setelah itu saya keliling ke tetanga – tetangga untuk mengucapkan “Selamat Lebaran”. Apakah tetangga saya yang rumahnya tidak saya datangi menggerutu? Saya rasa tidak. Sampai saat ini, saya selalu menghadiri setiap ada undangan acara di tetangga-tetangga saya, di mana di waktu yang sama diadakan pula acara pengajian. Walaupun saya tidak tahu artinya, tetapi jujur saya sangat menikmati lantunan ayat suci Al-Quran tersebut, karena mengingatkan saya ketika saya belajar mengaji semasa kecil dahulu di kampung halaman. Lantas apakah, setelah saya pulang ke rumah keimanan saya goyah? Tidak tu….

Negara ini bukan Arab, Amerika, Belanda, ataujuga Vatikan / Roma. Ini INDONESIA, yang merupakan salah satu negara multikultural terbesar didunia yang menganut paham Bhineka Tunggal Ika, yang memiliki toleransi yang tinggi dan semangat gotong royong sejak dahulu kala. Namun, semuanya itu dibutuhkan kedewasaan cara berpikir, kerohanian yang mateng, pemahaman yang benar, dan saling pengertian.

#Mohon kalau mau komentar tidak pakai SARA yang dibumbui dengan nada permusuhan dan kebencian. SARA-nya tanggalkan dahulu! Tolong juga gunakan bahasa yang baik dan sopan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline