Lihat ke Halaman Asli

Konvergensi Industri Media

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah konvergensi industri yang dapat dimaknai sebagai proses berkembangnya industri baru yang secara mutual berhasil menggabungkan dan “mengkawin silangkan” dua industri yang berbeda dengan poin pertumbuhan ekonomi yang baru. Konvergensi industri yang sejak beberapa tahun terakhir mulai terlihat geliatnya merupakan hasil integrasi dari industri baru dan tradisional. Konvergensi industri yang pertama kali terjadi ialah pada bidang industri media yang berhasil mengkolaborasikan sektor telekomunikasi, penyiaran dan penerbitan dalam satu bidang industri, terutama yang berbasis digital tekhnologi. Sejalan dengan perkembangan trend industri media, konvergensi media didorong oleh perkembangan tekhnologi yang sangat cepat meningkatkan fleksibilitas regulasi dan target profit. Rantai nilai media sudah mulai diseimbangkan kembali karena adanya kompetisi, kooperasi/kerjasama, dan konvergensi digital dalampenyiaran, media cetak dan internet. Proses konvergensi industri media ini terus berkembang karena didukung oleh beberapa faktor pendukung yaitu maksimalisasi keuntungan, proses fleksibilitas regulasi, dan inovasi tekhnologi. Pemaksimalan profit adalah pondasi yang paling utama dalam konvergensi industri karena seiring dengan inovasi tekhnologi pasti diikuti dengan bertambahnya profit. Inovasi tekhnologi ini membentuk industri komunikasi massa, yang selanjutnya menciptakan cakupan ekonomi yang lebih luas dan oleh sebab itu menciptakan model bisnis yang menguntungkan bagi industri media dan bahkan mampu menstimulasi pembangunan terpadu pada bisnis media sebagai industri. Fleksibilitas regulasi merupakan salah satu alasan eksternal dari konvergensi digital. Menurut teori management ekonomi bahwa dengan adanya investasi skala besar yang berulang bisa merusak kompetisi bisnis dan konsumsi khalayak. Sebagai konsekuensinya monopoli industri dapat menyebabkan rendahnya efisiensi biaya produksi dan alokasi sumber. Oleh sebab itulah dibutuhkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menjamin efektivitas dari monopoli industri alami. Regulasi yang jelas dari pemerintah dimaksudkan untuk mengatur persaingan industri dan kegagalan pasar yang bisa dimungkinkan terjadi akan tetapi seringkali adanya kepentingan individu, informasi asimetri dan peningkatan biaya perencanaan undang-undang membuat regulasi pemerintah kehilangan fungsi utamanya. Inovasi dalam tekhnologi adalah salah satu motivasi internal dari konvergensi industri. Implikasi dari inovasi tekhnologi dalam konvergensi industri media bisa dilihat dalam beberapa hal berikut: pertama, pengembangan inovasi tekhnologi telah menempatkan produk tekhnologi itu sendiri sebagai barang kebutuhan yang telah merubah pola konsumsi masyarakat terhadap produk media lama sebagaimana terlihat juga dalam produksi media dan sektor distribusinya. Kedua, perubahan yang telah disebutkan sebelumnya mampu menyatukan motivasi lainnya dengan perubahan fungsi dari produksi media, bahkan tekhnologi ini mampu merubah dan menciptakan kebutuhan pasar itu sendiri. Hal ini semakin mendorong munculnya kebutuhan-kebutuhan baru atas produk media dan memberikan peluang yang lebih besar untuk konvergensi industri media. Konvergensi industri media secara substansial dapat ditilik dari segi produksi-distribusi konten (ide) maupun dari segi institusinya. Dari segi produksi dan distribusi konten bahwa ketika ada satu ide konten yang yang diproduksi dapat melibatkan berbagai industri media yang dapat mendukung ide kontentersebut.

Gejala konvergensi media juga terjadi di Indonesia, contohnya yaitu MNC yang memiliki RCTI, TPI, GLOBAL TV, Radio Trijaya, Koran Seputar Indonesia, Indovision, dan Okezone.com, atau Group Bakrie yang memiliki ANTV dan TVOne. Setelah Orde Baru tumbang, stasiun-stasiun televisi baru ramai bermunculan. Hal ini sebagai akibat dari euforia demokratisasi. Pada waktu yang sama, korporasi-korporasi media mulai terbentuk. Menurut Satrio Arismunandar, sekarang ini telah terbentuk setidaknya tiga kelompok korporasi media. Korporasi media pertama adalah PT Media Nusantara Citra, Tbk (MNC) yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo yang membawahi RCTI (PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia), dan Global TV (PT Global Informasi Bermutu). Kelompok kedua berada di bawah PT Bakrie Brothers (Group Bakrie) yang dimiliki oleh Anindya N. Bakrie. Grup Bakrie ini membawahi ANTV (PT Cakrawala Andalas Televisi) yang kini berbagi saham dengan STAR TV (News Corp, menguasai saham 20%) dan Lativi yang sekarang telah berganti nama menjadi TvOne. Kelompok ketiga adalah PT Trans Corpora (Group Para). Grup ini membawahi Trans TV (PT Televisi Trasnformasi Indonesia) dan Trans-7 (PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh).

Konvergensi media yang terjadi dikhawatirkan membawa sejumlah dampak negatif, tidak hanya pada perkembangan kelangsungan sistem media di Indonesia, melainkan juga dampak pada isi atau konten yang disampaikan kepada masyarakat. Pemerintah Indonesia yang telah melihat akan potensi merugikan dari adanya konsentrasi suatu perusahaan mencoba mengintervensi dengan menghadirkan sejumlah peraturan yang mengatur mengenai kepemilikan perusahaan namun pengusaha mampu melihat dan memanfaat celah-celah kebolongan dari regulasi yang ada untuk dapat membuat sejumlah strategi, termasuk strategi konsentrasi media guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline