Pernah suatu ketika menyaksikan para Sufi berputar, menari, menikmati keberadaan sebuah ruang yang lebih luas dari ruang yang disadarinya seperti diajarkan Ar Rumi.
Pernah juga suatu ketika membaca bagaimana Asy Syadzili memanggil pasukan (Hizb) dari koordinat kesadaraan yang berbeda untuk berkumpul dan memberikan bantuan.
Pernah juga suatu ketika membaca bagaimana Ad Dasuqi memerintahkan seekor buaya dengan bahasa yang dimengerti sang buaya untuk memuntahkan mangsanya dan meminta sang buaya untuk mati saat itu.
Pernah juga suatu ketika membaca bagaimana Al Jailani membuka koordinat kesadaran lain ketika seorang juru masak ingin menjadi seorang raja.
Apa yang pernah saya baca adalah kisah kisah tentang adanya sebuah ruang yang setiap koordinatnya saling berhubungan satu sama lain dan ruang tersebut dipenuhi kesadaran kesadaran yang telah tertulis sebelumnya.
Ketentuan Allah yang ditulis Al Qalam di Lauh Mahfudz dengan pola ruang yang berisi persilangan garis yang saling berhubungan adalah kesadaran kesadaran yang tetap hidup walaupun tidak kita jejaki. Kesadaran kesadaran tersebut adalah sejarah buat kita sebab telah tertulis sebelumnya. Tak ada hal baru yang kita tapaki.
Para Sufi mempelajari jalinan kesadaran kesadaran tersebut, mencoba memahaminya demi tidak menyia nyiakan kesempatan sebagai Khalifah di muka bumi.
Para Sufi mencoba memberikan pemahaman bahwa apapun kondsi yang kita hadapi, bersyukur dan ikhlas kan saja, sebab apapun keadaannya itu adalah keadaan sejarah yang telah ditulis Al Qalam atas perintah Allah, meskipun begitu banyak hal yang kemudian kita sadari telah banyak yang luput dari apa yang ingin kita raih. Begitu banyak kesalahan pilhan jalan yang kita pilih untuk ditapaki.
Wallahu'alam
https://www.kompasiana.com/digul/65e19f7a1470936100495df4/teologi-islam-milenial-tulisan-kedua