Masalah digiring ke Hilir
http://rsa.or.id/masalah-digiring-ke-hilir/
-----
Saat ini, masalah kecelakaan lalu lintas jalan marak diberitakan dan dieskpos media massa. Entah karena banyaknya figur publik yang terlibat, atau kepedulian masyarakat yang kian menguat. Apapun itu, sebagai pengguna jalan kita harus mensyukuri fenomena ini.
Sebanyak 80-an jiwa melayang per hari akibat kecelakaan di jalan. Tentu itu adalah sebuah angka yang tinggi jika dibandingkan dengan faktor penyebab kematian nonpenyakit lainnya. Ironisnya, kecelakaan punya efek berantai di dalam kehidupan manusia.
Tahun 2012, lebih dari 60% kendaraan yang terlibat kecelakaan adalah sepeda motor. Masuk akal karena populasi roda dua cukup tinggi. Tahun itu, jumlah sepeda motor yang tercatat Kepolisian RI sekitar 77,7 juta unit. Sedangkan roda empat atau lebih sekitar 15 juta unit.
Data Kepolisian RI menyebutkan, pada 2011, pemicu kecelakaan lalu lintas jalan di Indonesia terdiri atas faktor manusia (53,20%), faktor jalan (28,17%), faktor kendaraan (14,05%), dan faktor alam (4,58%). Artinya, faktor manusia masih menjadi pemicu utama.
Faktor manusia didominasi dua aspek, yakni kelengahan dan berkendara tidak tertib. Tak pelak muncul jargon dari kepolisian, yakni kecelakaan kerap kali diawali pelanggaran aturan lalu lintas.
Ada hal yang menggelitik saya, hal ini juga menjadi topik bahasan harian para penggiat LSM keselamatan jalan satu-satunya di Indonesia, Road Safety Association (RSA). Publik terlena dengan data dan jargon yang dibangun. Publik juga dijejali dengan berbagai macam kampanye keselamatan jalan, hampir sangat mudah kita lihat imbauan keselamatan berkendara di jalan-jalan protokol. Bahkan, siswa-siswi sekolah dengan mudah mendapatkan informasi data kecelakaan berikut tips keamanan saat berkendara.
Hal yang menjadi fokus saya di tengah gencarnya pemberitaan dan kampanye yang dilakukan pemerintah adalah, penempatan masyarakat sebagai biang kerok kecelakaan. Karena itu, masyarakat diminta harus terampil, harus tertib, dan harus beretika di jalan. Masyarakat jadi kambing hitam, mereka pun kebingungan. Hal itu berujung pada keputus-asaan, pengguna jalan jadi "minder" melihat tudingan-tudingan yang dilancarkan pemerintah itu.
Seakan-akan pemerintah sudah sempurna dengan segala usahanya.
Sadarkah pemerintah bahwa mereka belum konsisten dalam mensinergikan masing-masing para pemangku kepentingan keselamatan jalan? Mestinya kementerian perhubungan bisa lebih sinergi dengan kepolisian. Lalu, kementerian kesehatan juga bersinergi dengan yang lain. Bahkan, amat elok jika semua dana dari instansi yang ada dapat menjadi satu kesatuan untuk memudahkan tercapai tujuannya.
Lantas, bagaimana penegakan hukum sebagai faktor keberhasilan implementasi peraturan? Lalu bagaimana wewenang penindakan kepada angkutan umum, siapa yang bisa bertindak? Lalu bagaimana sinergi dalam tingkat provinsi bila Polisi dan Perhubungan tidak mempunyai alur komando yang sama?