Semburat cahaya mentari menyusup ke dalam kamar melalui sela-sela etalase. Burung berkicau bersahut-sahutan dengan ayam yang berkokok. Mereka seperti sedang berlomba-lomba suara siapa yang paling keras untuk membangunkan semua orang pada pagi ini. Gadis itu terus bergulung di dalam selimut tebal karena angin pagi yang sejuk bercampur dengan udara dari mesin pendingin kamarnya. Gadis itu bersusah payah berdiri dan berjalan mengambil remote untuk mematikannya sambil terus membungkus badan mungilnya.
Ia berjalan ke depan jendela dan membukanya, disambut udara pagi yang sejuk. Ia hirup udara pagi sepuas-puasnya sampai seluruh rongga di dalam tubuhnya merasakan sejuknya angin pagi hari itu. Anin melirik jam dinding putih plastik dengan jarumnya yang bewarma hitam. Di dalam jam tersebut terdapat dua boneka beruang hitam yang saling berpelukan. Indah sekali mereka bisa berpelukan dengan puas tanpa dihentikan oleh waktu, pikirnya.
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Gadis itu lekas mengambil handuk dan pergi mandi. Selesai mandi, matanya langsung tertuju pada baju seragam yang terletak di atas kasur. Lengkap dengan dasi dan ikat pinggang. Di bawahnya ada sepatu hitam bertali putih. Sepatunya terlihat bersih karena kemarin sepatunya dibersihkan. Dengan melihat itu, ia tersenyum lebar. Bunda sudah pulang, batinnya.
Anin turun dengan riang menuju meja makan. Di sana hanya terlihat kakaknya. Pasti selalu seperti ini, batinnya. Setiap hari. Lalu gadis itu akan berteriak, "Bunda, ayo sarapan dengan Anin dan Kakak. Apakah Bunda tidak mau mengantarkan kami sampai depan pintu?" Sunyi. Tidak ada jawaban dari dalam pintu kamarnya.
Lalu, gadis itu akan berkata, "Ya sudah, Bunda tidur saja. Bunda pasti lelah karena baru sampai. Terima kasih sudah menyiapkan bajuku dan sarapan pagi hari ini." Lalu gadis itu akan duduk dan memakan sarapannya dengan lahap. Kemudian gadis itu akan berkata. "Masakan Bunda enak sekali, bukan? Ibu kantin sekolah ku tidak akan pernah bisa memasak masakan seenak Bunda. Makanya aku selalu membawa bekal karena hanya masakan Bunda yang paling enak. Betul, kan, Kak? Masakan Bunda enak, kan?" Kakaknya hanya diam. Ia selalu menganggap diam kakaknya itu adalah iya. Karena memang kakaknya seperti itu. Terlihat dingin di luar tapi jauh di dalamnya ia menyayangi keluarga.
"Bunda, kami pergi, ya? Nanti aku akan pulang agak terlambat karena ada tugas kelompok." Lagi-lagi tidak ada jawaban. Ya, tentu saja tidak ada jawaban karena Bunda sedang tidur karena kelelahan setelah bekerja, batinnya. Lalu gadis itu pergi menuju halaman depan dan pergi ke sekolah dengan kakaknya.
"Jam berapa Bunda pulang tadi malam, Kak?" katanya ketika mereka sudah berada di jalanan kota.
"Entahlah. Aku tidak ingat."
Gadis itu menghela napas. "Lalu, Bunda akan pergi lagi? Kapan kira-kira Bunda akan pergi dan kapan Bunda akan kembali? Sejauh apa tempat Bunda bekerja sampai ia jarang pulang? Sebenarnya apa pekerjaan Bunda?"
Kakaknya menghela napas panjang. "Bisa diam tidak? Coba sehari saja kamu hanya duduk diam dan tidak mengoceh tentang Bunda ketika kita ada di atas motor. Ini masih pagi. Jangan buat aku marah."
"Kenapa pula Kakak marah. Itu Bunda. Apakah Kakak tidak kasihan dengan Bunda yang harus bekerja terus-terusan?"