Lihat ke Halaman Asli

Gendhenk

Pengharapan adalah pancaran jiwa dan nyanyian tanpa kata-kata yang tiada akhir..

Penciutan Partai Politik, Why Not??

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, tentu banyak hal yang harus dibayar demi tegaknya asas tersebut. Akibat yang ditimbulkannya pun tidak hanya dari satu aspek saja, melainkan dari berbagai aspek dan cenderung menimbulkan efek domino bagi masyarakat negeri ini. Memang kita lihat banyak hal positif yang dapat dirangkum dari kebijakan ini, namun tidak serta merta hanya hal positif saja yang nampak tapi juga hal yang bersifat negatif.

Demokrasi yang dijunjung negeri ini terlihat dalam diberikannya hak sebebas-bebasnya kepada warga negara untuk berpendapat, mengeluarkan aspirasi, dan berorganisasi selama dalam norma-norma kewajaran. Namun hal ini nampaknya berimbas pada buruknya pengelolaan demokrasi itu sendiri, sehingga dapat kita lihat bahwa demokrasi yang ada saat ini telah berada di luar batas alias kebablasan.

Contoh nyata dari demokrasi yang kebablasan ini adalah tumbuh suburnya partai politik di Indonesia. Pemilu 1999 mencatat ada 48 parpol yang ikut dalam pemilihan, jumlah tersebut bisa dibilang sangat banyak mengingat pada masa itu kita beralih dari masa pemerintahan orde baru menuju ke era reformasi yang membuka kesempatan seluas-luasnya untuk membentuk partai politik.

34 partai politik dan 6 partai lokal yang lolos sebagai peserta Pemilu 2009 masih terbilang banyak. Kita patut prihatin, karena jumlahnya bertambah dari jumlah peserta Pemilu 2004 yang “hanya” 24 parpol. Memang, jangan pernah melarang siapa pun mendirikan parpol karena hal itu melanggar kebebasan berserikat. Dan, sudah barang tentu tidak demokratis karena diperlukan sebagai bagian proses pembelajaran.

Meningkatnya jumlah partai politik yang ada juga diimbangi dengan meningkatnya jumlah warga masyarakat yang memilih untuk golput. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa masyarakat memerlukan penyegaran dalam bidang politik. Masyarakat ingin melihat parpol-parpol besar yang sudah eksis lebih mempertegas platform mereka, dan menuangkannya dalam karya nyata. Sama artinya bahwa parpol dituntut untuk menyempurnakan pola rekrutmen kader, serta menghadirkan kader negarawan ke parlemen. Dan jangan lagi menghadirkan kader pemburu uang suap atau calo proyek agar kader-kader yang tampil benar-benar merupakan putra-putri terbaik negeri ini.

Dengan syarat yang sederhana saja individu-individu dapat membuat partai politik sesuai keinginan dan kepentingan mereka. Dan hal itulah yang membuat masyarakat menjadi bingung dengan melimpahnya jumlah parpol yang ada. Masyarakat cenderung memilih untuk golput daripada harus memilih orang-orang yang tidak mereka kenal.

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika sistem partai yang ada saat ini dikembalikan kepada sistem dwipartai atau tripartai seperti pada orde baru dengan penggunaan sistem distrik. Sebab, sistem distrik memiliki banyak keuntungan(Miriam Budiarjo, 2008:466),


  1. Mendorong ke arah integrasi partai politik sehingga menyisihkan perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama;
  2. Karena wilayahnya kecil, wakil yang terpilih dapat dikenal oleh masyarakat, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat;
  3. Kecenderungan membentuk partai baru dapat terbendung;
  4. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.

Mengacu pada keuntungan tadi, maka sebaiknya sistem inilah yang dipakai di negeri ini. Dengan penerapan sistem tersebut diharapkan angka golput masyarakat menjadi menurun dan suara rakyat tidak terfragmentasi serta membuat makna kedaulatan rakyat menjadi sangat jelas. APBN yang digunakan untuk pemilu yang demikian besarnya juga dapat dialhkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat di bidang lain, karena sistem ini membuat pemilu menjadi sederhana dan lebih hemat biaya daripada pemilu sebelumnya.

Terdapat sejumlah pilihan untuk penciutan parpol. Penciutan itu mesti berlangsung secara alami dan juga demi pembentukan stabilitas pemerintahan. Konsekuensinya, tidak masalah jika parpol yang tidak lolos ke parlemen tetap diperbolehkan mengikuti pemilu berikutnya. Penciutan antara lain bisa dilakukan lewat elemen teknis pemilu, misalnya dengan mengetatkan ketentuan parpol peserta pemilu ke depannya dengan cara memperhitungkan ambang-matematis dalam setiap cara perhitungan suara. Bila perlu dibuat electoral threshold itu 5 %. Jadi pemilu 2014 hanya akan ada 7 peserta pemilu; Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB. Tahun 2019 dinaikkan lagi electoral threshold menjadi 10 % dan mungkin hanya akan tinggal 3 parpol peserta pemilu. Tahun 2024 naikkan lagi electoral threshold menjadi 25 % agar tinggal 2 parpol saja. Sehingga dana yang berputar selama pemilu bisa dimanfaatkan di bidang lain.

Cara lain adalah lewat pembentukan daerah pemilihan kecil. Hal itu pernah dilakukan di Cile, yaitu parpol “dipaksa“ untuk bergabung dengan identitas masing-masing daerah, karena daerah pemilihan hanya berkursi dua. Keinginan adanya konsentrasi parpol di parlemen cenderung sulit dilakukan kalau daerah pemilihannya besar-besar. Sehingga hubungan antara calon dengan konstituen bisa lebih erat, dan calon pun lebih dikenal oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline