Lihat ke Halaman Asli

Jangan Ngonde Pak Beye, Jangan Dibonsai KPK Kami

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Nusantara ini beberapa tahun silam mampu menjadi penghilang rasa haus dahaga masyarakat terhadap pemberantasan korupsi yang semakin menjadi dari tahun ke tahun. Modus yang digunakannya pun semakin beragam, seolah seperti perlombaan, para pejabat Negara yang memang menjadi objek pengawasan KPK terus menunjukkan sikap-sikap koruptif. Sikap-sikap ini tak terlepas dari budaya korupsi yang sudah mengakar rumput dan menjalar seperti penyakit kulit di Negeri ini.

Dalam perjalanannya KPK pun mendapatkan banyak rintangan, tentu masih ingat di benak kita bagaimana pertarungan cicak vs buaya yang berakhir pada penumbalan Ketua KPK saat itu yakni Antasari Azhar yang dipidanakan atas kasus pembunuhan seorang pengusaha. Selain itu, ingatan kita pun masih belum tergantikan dengan percobaan kriminalisasi pimpinan KPK yakni Bibit-Chandra dengan berbagai macam intrik yang dilakukan. Dan hal yang paling tidak wajar adalah masa tugas Ketua KPK yang hanya berdurasikan satu tahun, padahal terpilihnya Busyro Muqoddas sebagai pimpinan KPK melalui mekanisme independen dan terpercaya. Sehingga kemunculan Ketua KPK baru ini adalah melalui penjaringan terbaik yang pernah dilakukan oleh sistem pemilihan Negeri ini di lembaga apapun.

Dari sekian banyak kasus yang menerpa KPK rasanya cukup layak apabila kita menyimpulkan bahwa pemerintahan SBY tak memiliki integritas utuh dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Bukti ketidak integritasan pemerintahan SBY ini terlihat jelas dengan penyusunan RUU Tipikor yang berlarut-berlarut. Kali ini pemerintah terus mengulur-ulur pembahasan RUU Tipikor yang merupakan landasan gerak dari KPK. Poin utama yang menjadi masalah adalah penjatuhan hukuman mati bagi para koruptor yang sekali lagi menunjukkan sikap pemerintah yang ngonde. Pemerintah seolah tak berani menetapkan hukuman mati bagi para koruptor karena takut menimpa dirinya. Kali ini saya tak mau bersikap berprasangka baik, ketidak jelasan dan ketidak tegasan pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi membuat saya antipati. Serta yang menarik adalah ada pasal yang menyatakan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara dibawah 25 juta akan bebas dari hukum pidana korupsi apabila kerugian tersebut dikembalikan ke kas Negara. Tentu hal ini kontradiktif dengan asas hukum yang tak mengacu pada besar kecilnya nominal kerugian layaknya dagang, tapi status dari tindakan yang dapat merugikan Negara seharusnya layak dikedepankan.

Mengingat ketidak tegasan pemerintah dalam pemberantasan korupsi sehingga menimbulkan pesimistis bagi masyarakat. Saatnya rakyat yang mengambil alih secara langsung penyusunan RUU Tipikor dari pemerintah, dengan melibatkan LSM seperti ICW dan berbagai lembaga akademis sehingga RUU Tipikor mampu melepaskan KPK dari pembonsaian pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline