Lihat ke Halaman Asli

Urgensi Pluralitas Dalam Kehidupan Berbhineka Tunggal Ika

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rangkaian-rangkaian peristiwa yang dilalui bangsa ini semakin memupuk rasa keprihatinan di sanubari anak bangsa, gesekan-gesekan horizontal semakin sering ditampilkan oleh pemuka Negeri ini dalam panggung elitisme politik.

Bahkan elemen kedaulatan yang sepenuhnya berada di tangan rakyat telah mengalami dislokasi manifestasi yang selalu mengalami pengatas namaan demi kepentingan segelintir atau sekelompok orang. Rangkaian cerita politik, hukum, dan keamanan mampu mengungkap kelemahan integritas pemuka negeri ini seperti yang tergambarkan dibawah ini.

Ketidak berdayaan bangsa ini yang terpersonifikasi oleh pemerintah tak mampu untuk menunjukkan dignity terhadap negara lain semakin menambah keprihatinan yang telah tertimbun tak tersuarakan secara holistik.

Pertarungan-pertarungan untuk menggapai tampu kekuasaan selalu bercorakkan intrik dan menumbalkan kepentingan masyarakat. Jejak rekam noda yang ditorehkan pemerintahan SBY amat melekat di ingatan masyarakat Indonesia, beberapa kasus yang menyita perhatian seperti kasus Bank Century, terungkapnya Mafia Perpajakan, pengkriminalisasian KPK serta pengerdilannya, kisruh kongres PSSI, kebohongan data statistik pemerintah tentang kualitas hidup masyarakat Indonesia, bobroknya sistem kepartaian yang saling menyandera skandal dalam koridor politik, serta yang terakhir adalah hilangnya rasa aman masyarakat dengan semakin maraknya aksi teror dengan bom buku.

Selain itu, hal yang dapat dikategorikan positif dari pemerintah adalah program-program kerakyatan, yang diluncurkan dan hanya berjalan pada saat mendekati PEMILU yang tujuannya pun hanya untuk isu pencitraan sementara, setelah itu rakyat dibiarkan gigit jari dan dipaksa menerima nasib dalam kerangkeng kesadaran magis.

Dari penggambaran diatas maka akan menimbulkan reaksi sosial yang terkategorikan dalam sedikitnya tiga kategori berdasarkan tingkat akses pendidikan yang mampu dijangkaunya:

1.Masyarakat Yang Masih PadaLevel Kesadaran Magis

Bagi masyarakat yang kurang mendapatkan akses pendidikan program kerakyatan tersebut tak lebih dari penina boboan dengan buaian mimpi kualitas hidup lebih baik yang tak kunjung mewujud. Hal ini selaras dengan konsep penggunaan pengetahuan untuk kekuasaan yang digagas oleh Michel Foucault, masyarakat dipaksa secara implisit menikmati hidupnya yang tak adil walaupun sebenarnya mereka sangat berhak menikmati segala sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia.

2.Masyarakat Yang Berada Pada Level Kesadaran Naif

Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki kemudahan akses pendidikan, efek yang muncul di mereka adalah sebuah apatisme terhadap integritas pemuka negeri ini dalam menjalankan kedaulatan yang merupakan manifestasi hajat hidup rakyat. Apatisme merupakan efek awal yang berpotensi melahirkan sebuah pemikiran untuk melakukan tindakan-tindakan pintas agar keadaan yang tak berkeadilan ini cepat tersesuaikan, tindakan-tindakan pintas ini teraktualisasikan dalam koridor partikular individual yang tertransformasi dalam sebuah sistem yang menginstitusi. Masyarakat yang bergerak dalam koridor partikular individual ini hanya berusaha menyelamatkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain di sekitarnya bahkan tak memperdulikan hak-hak orang lain. Pada level kesadaran ini secara imlplisit hanya bentuk penungguan untuk menjadi penguasa penindas berikutnya.

3.Masyarakat Pada Level Kesadaran Kritis

Pada masyarakat yang telah mencapai kesadaran kriris mereka bergerak dalam koridor universalitas holistik dengan melakukan perubahan dalam tatanan sistematika pembasisan, sehingga masyarakat mampu bertanya atas kehidupannya yang dijalaninya, kemudian berpikir untuk merubah hidupnya secara khusus dan lingkungan dari yang terkecil secara umum, serta yang terakhir dilakukan adalah bertindak dengan mengorganisir dirinya sendiri sehingga mampu menyelesaikan setiap problem hidup yang dialaminya. Dalam hal ini prinsip utama yang ditekankan adalah nilai kemandirian untuk secara merdeka menentukkan nasib hidupnya sendiri.

Dari ketiga kategori reaksi sosial yang muncul pada masyarakat, kemudian memunculkan kemungkinan akan berdampak pada krisis legitimasi yang kemudian memberikan akibat krisis sosial sebagaimana yang diutarakan oleh Juergen Habermas. Menurutnya, “apabila pemerintahan dijalankan sesuai dengan siklus bisnis maka reaksi sosial yang memicu krisis legitimasi akan mencapai klimaks pada terjadinya krisis sosial”.

Kemunculan krisis sosial yang disebabkan oleh reaksi sosial ini dapat merambah pada konflik horizontal antar kelompok kepentingan, oleh karena itu paradigma pluralitas memiliki nilai yang sangat penting dan signifikan agar tetap terjaganya kestabilan sosial dalam khazanah kebhinekaan secara suku, budaya, ras, agama, maupun paradigma. Adapun unsur yang dapat digunakan untuk menjaga stabilitas sosial maka diperlukan sebuah denominator (pemersatu), denominator ini akan muncul apabila ada sebuah tujuan dan musuh bersama.

Maka hal yang paling layak untuk dijadikan musuh adalah perlawanan terhadap sistem yang tak adil kemudian yang ditujukan tujuannya adalah perbaikan kualitas hidup berbangsa dan bernegara yang merdeka secara utuh.

Ya, merdeka secara utuh dengan mengelola, mengembangkan, dan menentukkan hajat kebutuhan hidup berbangsa dan bernegara sendiri tanpa ada kepentingan kelompok ataupun asing yang ada hanya kepentingan bersama sebagai bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline