Lihat ke Halaman Asli

Negara Demokrasi (Katanya)

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari rabu yang lalu, (9/4), Indonesia sedang disibukkan dengan hajat yang biasa disebut dengan PEMILU. Toh seperti yang saya duga, “Partai Golput” menang telak dalam pemilu kali ini. Dari versi quick count yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Cyrus Network, didapatkan perolehan suara golput yang begitu fantastis, 24,7%. Jika ditilik dari jumlah pemilih yang ikut serta dalam pemilu 2014 kali ini, angka yang didapat oleh golput setara dengan sepertiga dari jumlah pemilih. Artinya, “Partai Golput” hadir sebagai pemenang dalam Pileg 2014 ini. Pencapaian yang membanggakan ini tidak dapat dipisahkan dari kampanye yang dilakukan oleh para caleg. Dari mulai membuat bising telinga sampai tragedi bentrokan antar simpatisan partai. Memang tidak semuanya seperti itu. Tapi jangan lupakan pepatah yang berbunyi, “karena setitik nila, rusaklah susu se-ember”. Karena hadirnya para pejabat pemerintah yang korup lah kami ada. Karena cacatnya sistem pemerintahan lah kami hadir. Karena dan karena apapun itu kami akan tetap ada selama demokrasi cacat ini masih dijalankan. Jangan menyalahkan kami wahai para pemilih. Toh, kami juga telah menyuarakan hak kami sebagai pemilih. Ya, kami dengan sangat jelas memilih untuk golput. Memilih untuk diadakannya sebuah perbaikan sistem yang dikendalikan oleh rakyat secara bersama. “Jika tidak memilih maka kamu tidak boleh protes terhadap pemerintah”. Sebuah nasehat seorang kawan saya saat berdebat tentang golput. Namun, kembali lagi pada tahun-tahun yang telah lalu. Adakah pengendalian pemerintahan ataupun sekedar protes dari rakyat yang benar-benar diterima oleh pemerintah. Bukti nyata saja, demo besar-besaran menuntut BBM tidak naik saja hanya sekedar dianggap angin lalu oleh pemerintah. Artinya, kebebasan bersuara di negeri ini seakan hilang entah kemana. Hanya dianggap sebuah teori saja tanpa ada aksi nyata. Kemudian jika kita mau mengkaji lebih lanjut, dana penyelenggaraan pemilu berputar di angka 40 Triliun rupiah bung! Mengagumkan memang. Jika dana itu dibagikan kepada rakyat miskin yang pada september 2013 lalu berjumlah 28,55 juta jiwa, maka setidaknya ada 1,4 juta yang diterima per orang. Jika memang dana ini dibutuhkan untuk memilih pemimpin yang akan membawa nasib bangsa, apakah menjamin bahwa pemimpin yang kita pilih akan memihak pada rakyat? Toh, kita memilih pemimpin negeri ini juga seperti memilih kucing dalam karung. Kita tidak tahu seperti apa kejelasan pemimpin tersebut. Seakan tak mau terima ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah sebuah proses. Hei, kau yang berkata proses, tidak cukupkah kita berproses selama 69 tahun? Apakah kau tidak melihat sejarah bahwa seorang Adolf Hitler dapat membangun Jerman hanya dengan waktu 3 tahun? Lalu, 69 tahun negara ini berdiri, sudahkah seperti jerman ketika dipimpin Hitler? Tidak saudara-saudara! Kemerdekaan yang direbut oleh para pahlawan kita akan terasa percuma jika kita masih dalam lingkup penjajahan baru. Saat ini saudara sedang dijajah dengan diadakannya sistem demokrasi. Para Founding Fathers kita tidak menghendaki kita mengimpor apapun dari negeri lain termasuk sistem demokrasi. Sistem yang mereka usulkan pada awalnya adalah “Musyawarah Mufakat” yang berangkat dari sila ke-4. Kalian lihat Amerika? Yang katanya sebagai negara demokrasi paling berhasil? Hanya ada 2 partai saja! Hanya ada demokrat dan republik. Tak ada yang lain. Lalu Indonesia punya berapa partai? Tak keluar dari topik, jumlah golput di Amerika pun begitu fantastis. 90 juta warga di sana menyatakan untuk golput ketika pemilu 2013 berlangsung. Artinya, hampir 50% warga di sana memilih untuk golput. Hei, ada apa dengan negara yang dikatakan sebagai negara dengan demokrasi terbaik? Golput akan selalu ada selama negara ini menganut sistem demokrasi. Ingatlah saudara-saudara, demokrasi menimbulkan mudharat yang begitu banyak di negeri ini. Bukan saya anti demokrasi, namun, sistem “Musyawarah Mufakat” yang dicetuskan oleh para Founding Fathers kita tampaknya akan lebih baik jika dijalankan. Demokrasi bukanlah sistem yang pantas diterapkan di negeri ini. Sudah saatnya kita untuk menyuarakan “TOLAK DEMOKRASI”. Jangan kambing hitamkan kami yang sudah berusaha untuk menolak demokrasi, ada baiknya kita saling berdiskusi agar dapat memahami apa yang ingin disampaikan. Katanya demokrasi, masa GOLPUT tidak boleh bersuara?

#sangat mengharapkan sebuah diskusi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline