22 Juni 1527 sekarang dirayakan menjadi hari ulang tahun Jakarta, menandai kemenangan perebutan pelabuhan Sunda Kelapa oleh pasukan gabungan Demak Cirebon yang dipimpin Fatahillah. Di sisi lain, kemenangan ini sekaligus menandai berakhirnya penguasaan pelabuhan oleh Kerajaan Tarumanegara (sejak abad ke-5) dan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Sejarah memang selalu memiliki dua sisi.
Ini adalah tulisan terakhir dari tulisan bertajuk Perebutan Sunda Kelapa.
Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan terkuat Kerajaan Pakuan Pajajaran dari enam pelabuhan yang menjadi bagian dari kekuasaannya, yaitu pelabuhan Banten, Pontang, Cikande (Tangerang), Karawang dan Cimanuk. Pelabuhan Sunda Kelapa adalah pelabuhan internasional kerajaan Pakuan Pajajaran.
Dari sini, hasil bumi seperti beras dan lada diekspor ke daerah dan negara-negara tetangga. Kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makassar dan Madura hingga pedagang dari India, Tiongkok, kepulauan Ryu-Kyu (Jepang) mengunjungi pelabuhan ini untuk berniaga. Selain lada, barang-barang yang diekspor melalui pelabuhan ini termasuk pala, emas hingga cula badak yang biasanya diminati oleh pedagang Tiongkok (Heuken, 2015, hal 18).
Koalisi Pakuan Pajajaran dan Portugis
Di tulisan sebelumnya, kita sudah membahas tentang kisah para pangeran kerajaan Pakuan Pajajaran dan awal ketegangan antara kerajaan ini dengan Cirebon. Ironinya, dari perpecahan keluarga karena perbedaan keyakinan, Cirebon, Demak dan Pakuan Pajajaran sebenarnya hubungannya masih cukup dekat akibat perkawinan (lihat dua tulisan sebelumnya).
Prabu Siliwangi (1482-1521), raja dengan banyak nama dan gelar, yang masa pemerintahannya disebut sebagai puncak keemasan kerajaan ini, berinisiatif untuk mengadakan hubungan dengan Portugis. Beliau mengutus anaknya, Prabu Surawisesa (1521-1535) untuk menemui utusan Portugis di Malaka pada tahun 1512 dan 1521.
Setelah Prabu Surawisesa mengunjungi Malaka atas perintah ayahnya (1512), setahun setelahnya (tahun 1513), empat kapal Portugis di bawah pimpinan de Alvin datang mengunjungi Kelapa. Orang Portugis mencari rempah-rempah, terutama cengkeh, lada dan pala. Dalam kunjungan ini (1513) Tome Pires ikut serta. Tome Pires-lah yang menuangkan catatan tentang Kerajaan Pakuan Pajajaran ini dalam bukunya yang berjudul "Suma Oriental".
Di catatannya, selain melukiskan tentang jarak Kelapa ke pusat kerajaan Pakuan Pajajaran di daerah Batutulis yang ditempuh dalam dua hari berjalan kaki. Catatannya juga menyebutkan bahwa kota tempat raja berada disebut Dayeuh, memiliki rumah-rumah indah dari daun palem dan kayu. Rumah raja memiliki 330 pilar sebesar tong anggur dan tingginya 5 fatom (sekitar 9.14 m) dan terdapat ukiran kayu yang sangat indah pada ukiran tersebut(Danasasmita, 2014, hal 50).
Tahun 1522, utusan Portugis datang lagi ke Kelapa dan Pakuan, dibawah pimpinan Henriquez de Leme. Literatur menyebutkan tahun tersebut, Prabu Siliwangi sudah tidak lagi bertahta dan digantikan oleh Prabu Surawisesa. Karena berbeda pelafalan, Portugis menyebut Prabu Surawisesa, Raja Sanghiyang dengan "Raja Samiam".
Pada kunjungan ke-dua ini-lah Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Portugis menandatangani perjanjian dagang dan keamanan, dengan rangkap dua dan dihadiri oleh saksi-saksi dari kedua belah pihak. Di antara isi perjanjian tersebut, dalam jangka waktu setahun, Pajajaran akan memberikan 1.000 karung lada yang ditukar Portugis dengan barang-barang kebutuhan. Selain itu, Pajajaran memberikan izin bagi Portugis untuk mendirikan benteng di Pelabuhan Sunda Kelapa. Benteng ini tidak pernah dibangun, karena Sunda Kelapa sudah keburu dikuasai.