[caption id="attachment_416938" align="aligncenter" width="300" caption="Masihkah kampanye Keluarga kecil sejahtera dengan Dua Anak Cukup berjalan? "][/caption]
Dalam kunjungan singkatnya ke Indonesia, Babatunde Osotimehin, Direktur Eksekutif Badan Kependudukan PBB (UNFPA), mengingatkan dua hal: Pertama, Indonesia akan mengalami bonus demografi, diprediksi dalam waktu 15 tahun mendatang, dimana usia penduduk produktif antara 15-29 tahun akan mencapai sekitar 65 juta orang. Kedua, Indonesia membutuhkan investasi besar di bidang kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan,tata kelola, serta Program Keluarga Berencana (KB). (Kompas, 26/4/15).
Prediksi ini bukan hal baru, meskipun kita masih seringkali ragu dalam tindakan antisipasinya. Ledakan penduduk tak terkendali akan menimbulkan berbagai permasalahan. Hal ini sudah sering dikupas dalam berbagai forum diskusi dan studi.
Sebagai antisipasi ledakan penduduk, Orde Baru dulu segera bertindak cepat, strategis, sentralistis dan cenderung memaksa dalam pelaksanaan program KB di Indonesia. Selama periode dua puluh tahun antara 1970-1990, program KB ini dinilai sukses menurunkan angka pertumbuhan penduduk dari 2,34% pada periode 1971 – 1980 menjadi 1,49% pada periode 1991 – 2000 (Survey BPS, 2003). Sukses ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya rezim Orde Baru, malah cenderung menurun atau stagnan dalam 15 tahun terakhir selama era reformasi.
Tiga Tantangan Utama
Setidaknya ada tiga tantangan utama di dalam pelaksanaan KB di Indonesia pada masa reformasi ini. Pertama, desentralisasi. Kebijakan otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah berhak mengatur dan mengelola wilayahnya sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakatnya, selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang (Djusan, 2012). Hal ini menimbulkan tantangan di dalam penentuan prioritas pembangunan, dimana program KB yang dampaknya baru terasa pada jangka panjang, akan sulit bersaing dengan program-program prioritas jangka pendek, cepat terlihat hasilnya dan tentu saja lebih populer.
Kedua, tantangan pelaksanaan di lapangan. Rezim Orde Baru dulu mempersiapkan kelembagaan dengan pembagian peran, tanggung jawab serta koordinasi yang jelas untuk pelaksanaan program KB, disamping mempersiapkaninfrastruktur dan sistem penunjang. Di masa reformasi, pelaksanaan di lapangan cenderung tumpang tindih antara lembaga kependudukan dan aparat pemerintah daerah, sehingga prioritas, koordinasi dan ukuran pencapaian menjadi kurang jelas (Kurniawan, Pratomo & Bachtiar, 2010). Permasalahan lainnya adalah petugas penyuluhan menurun drastis, dengan tingkat kemampuan mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut ber-KB yang berbeda-beda.
Ketiga, isu budaya dan politik. Tidak dapat dipungkiri, isu seputar Program KB ini adalah isu sensitif, dari sisi agama, budaya maupun politik dari dulu hingga sekarang.Dari sisi agama, resistensi serta pro-kontra masyarakat masih berkutat seputar apakah boleh atau tidak boleh menggunakan alat kontrasepsi dan mengikuti KB berarti menentang kehendak Tuhan YME untuk kelahiran. Dari sisi budaya,pemahaman “banyak anak banyak rezeki” ternyata masih berlaku luas, meskipun tekanan ekonomi mendesak. Selain itu, untuk masyarakat konservatif seperti Indonesia, seksualitas masih masuk ke dalam wilayah tabu. Meskipun saat ini sudah relatif lebih terbuka dibanding masa lalu dengan perkembangan teknologi dan informasi. Dari sisi politis, pemekaran daerah malah mendorong peningkatkan pertumbuhan penduduk untuk memenuhi persyaratan pembentukan daerah baru.
[caption id="attachment_416939" align="aligncenter" width="300" caption="Ziona Chana, 67 tahun di India, bersama dengan 160 anggota keluarga dari hasil perkawinan poligami, hidup dalam satu atap. Sumber foto: Barcroft Productions, Daily Mail"]
[/caption]
Tampaknya trend keluarga besar kembali marak di berbagai negara, hingga National Geographic meluncurkan satu program berjudul Mega Families untuk menyoroti fenomena ini.
Re-aktivasi Program KB
Yang krusial saat ini adalah bagaimana memasukkan program KB ini kembali menjadi prioritas di dalam Rencana Pembangunan, baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang dalam kerangka otonomi daerah.Kita memerlukan terobosan “out of the box” dan inovasi dalam bidang kependudukan, yang memerlukan strategi, kecerdasan dan keberanian birokrasi kelembagaan yang mengurusi bidang ini. Hal ini akan memerlukan dukungan organisasi kemasyarakatan dan peran akademisi.
Program KB ini akan memerlukan pendataan dan pemetaan di daerah, terutama untuk kabupaten/kota dengan tingkat populasi penduduk tertinggi.Hal ini untuk melihat dan menganalisa faktor yang mendorong tingkat pertumbuhan kelahiran yang tinggi tersebut dan mencari solusi yang sesuai dengan konteks dan kultur masyarakat di daerah tersebut.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) perlu kembali diperkuat tugas, tanggung jawab dan peran koordinasinya. Perlu perampingan di dalam struktur kelembagaan yang mengurusi KB di tingkat pusat hingga daerah, agar tidak tumpang tindih dalam pengaturan dan terutama dalam pelaksanaannya di lapangan. Jika memungkinkan, ada semacam skema dan mekanisme insentif untuk daerah yang menjalankan dan berhasil melaksanakan program KB, diberikan secara berkala, misalnya lima tahunan.
Studi, riset dan pengukuran ini bisa bekerjasama dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Yang tak kalah penting adalah media komunikasi untuk terus memberikan informasi tentang perkembangan pelaksanaan Program KB ini. Dengan kemajuan teknologi dan sumber daya manusia yang kita miliki saat ini, hal ini sangat mungkin untuk dilakukan.
Program KB harus diaktifkan kembali dengan mempertimbangkan situasi kondisi perkembangan saat ini yang berbeda dengan masa orde baru. Hal ini perlu dilakukan selain upaya “investasi kependudukan” di bidang pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan energi.
Jika kita gagal melakukan perencanaan strategis, melaksanaan serta memantauan sebagai upaya antisipasi ledakan penduduk ini, maka bisa saja prediksi bonus demografi malah berbalik menjadi bonus masalah.
Sumber:
Investasi Penduduk Kunci Meraih Bonus Demografi (2015, 26 April) Harian Kompas
Djusan, A. (2012). Praktik Government Public Relations Paska Otonomi Daerah, Sebuah Tinjauan dengan Kasus Penyuluh KB Sebagai Government Public Relations Bidang KB. Jurnal Studi Komunikasi dan Media, 16(1), 61-70.
Kurniawan, Pratomo & Bachtiar, (2010),Kinerja Penyuluh KB di Indonesia, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 1, Agustus 2010
BPS. Survei demografi dan kesehatan Indonesia 2002-2003. Jakarta: BPS; 2003.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H