Lihat ke Halaman Asli

Masih Ada Ruas Citarum Yang Bersih!

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13101090731874568274

[caption id="" align="aligncenter" width="482" caption="Aliran Sungai Citarum lama di depan teras Gua Sanghyangpoek, Photo by: Ng Swan Ti/doc.Cita-Citarum"][/caption] Tulisan ini dimuat di website Citarum (www.citarum.org) Bermain air di aliran Sungai Citarum? Demikian reaksi keheranan sebagian besar orang yang sudah sangat terbiasa menyaksikan sungai Citarum yang identik dengan sampah yang menutupi permukaan airnya. Belum lagi dengan aliran air yang kadang bisa berubah menjadi hitam pekat dengan bau-nya menusuk. Jangankan bermain air, memasukkan seruas jari saja sudah menimbulkan keengganan. Tidak percaya? Cobalah berjalan-jalan mengunjungi aliran Sungai Citarum seperti di Majalaya, Bale Endah dan Dayeuh Kolot. Bermain air di aliran Sungai Citarum masih sangat memungkinkan jika dilakukan di daerah hulu, terutama di aliran yang masih dekat dengan sumber mata airnya di Cisanti, Gunung Wayang. Namun, bagi sebagian besar masyarakat yang tinggalnya di sepanjang aliran Citarum, bermain air, mandi, memancing, bahkan mencuci beras dan mengambil air untuk masak adalah sebuah nostalgia. Karenanya, tidak berlebihan jika rasa senang membuncah ketika mendapati aliran Sungai Citarum yang airnya begitu bening dan bersih. Aliran ini berada di kawasan waduk Saguling di Kabupaten Bandung Barat yang dikelola oleh PT Indonesia Power. Menurut T.Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, aliran sepanjang sekitar 7.5 kilometer ini merupakan aliran sungai Citarum lama. “Ketika Sungai Citarum dibendung untuk menjadi pembangkit tenaga listrik PLTA Saguling, aliran sungai Citarum yang berasal dari Gunung Wayang itu tertahan di sana lalu dimasukkan ke pipa pesat untuk memutar turbin.” Jelas T.Bachtiar. Dengan terbendungnya Sungai Citarum, maka terputuslah aliran sungai di segmen ini dari aliran sebelumnya yang berasal dari Gunung Wayang. Hal ini hampir serupa dengan konsep penyodetan sungai yang menyisakan bekas aliran. “Mengapa bisa bersih? Hal ini dikarenakan bekas aliran ini mendapatkan suplai dari mata air-mata air yang berada di sekitar aliran. Hanya air pegunungan yang keluar dari mata airlah yang terkumpul menjadi aliran kecil dalam lembah Sungai Citarum lama yang lebar. Sebenarnya tanpa pasokan air dari mata-mata air tersebut, aliran sungai ini akan kering seperti sungai mati” kata T.Bachtiar. Indikator sederhana untuk air yang bersih ini adalah mudahnya kita temui binatang seperti laba-laba yang merambat di permukaan air. “Orang Sunda menyebutnya Engkang-Engkang, kalau di Jawa Tengah disebut dengan nama Enggang-Enggang. Hidupnya binatang ini adalah indikator sederhana untuk air yang masih bersih” tambah T.Bachtiar. Laboratorium Alam Citarum [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Di dalam Gua Sanghyangpoek. Photo by: Ng Swan Ti/Dok Cita-Citarum"][/caption] Tak kalah menariknya, aliran Sungai Citarum lama ini persis di teras gua Sanghyangpoek. Dulunya gua sepanjang sekitar 200 meter ini merupakan gua bawah tanah, seperti halnya gua purba lainnya yang juga berada di kawasan Waduk Saguling, Sanghyangtikoro, yang terletak dekat dengan tempat parkir mobil di gedung Power house Indonesia Power. Berbeda dengan aliran sungai Citarum lama di Sanghyangpoek, aliran Citarum yang telah dialirkan melalui pipa pesat dan masuk ke Sanghyangtikoro ini, meski nampak jernih, namun dari jarak 100 hingga 200 meter saja dari aliran sungai ini, sudah dapat tercium bau seperti belerang yang menusuk. Dengan dibendungnya aliran Sungai Citarum, maka gua Sanghyangpoek tidak lagi menjadi gua di sungai bawah tanah, sehingga kita dapat menelusuri lorong-lorongnya. Gua ini bisa disebut “gua hidup” karena proses pelarutan batu kapur yang membentuk stalagmit (bentukan yang ada di dasar gua) dan stalagtit (bentukan yang menggantung di langit-langit gua) masih terus berlangsung. “Jika Anda tertarik untuk menyusuri lorong Sanghyangpoek, jangan lupa membawa senter untuk penerangan selama berada di dalam gua. Jangan pernah menyentuh stalagmit atau stalagtit di dalam gua, karena satu sentuhan tangan kita akan dapat merusak proses pembentukan yang telah berlangsung selama jutaan tahun. Curah hujan tinggi atau sedang banjir air sungai ini dapat masuk ke dalam gua, karenanya tetap perlu berhati-hati jika sedang berada di dalam gua.” T.Bachtiar memberikan tips. Di ujung gua Sanghyangpoek, air bening, jernih, tidak berbau serta deras mengalir di antara bebatuan menunggu Anda. Tidak mengherankan jika jernih dan derasnya air sangat mengundang Anda untuk menceburkan diri dan bermain air. Jika Anda sudah sering melihat aliran Sungai Citarum yang hitam pekat atau malah berwarna-warni karena buangan limbah, ber”tatap-muka” dengan wajah Sungai Citarum lama yang masih jernih membuat harapan bangkit kembali. Jika saat ini masih ada bagian Sungai Citarum bersih yang tersisa, maka dengan upaya bersama, kita bisa menambah panjang aliran yang bersih. Sehingga bermain air di Citarum bukan lagi sekedar nostalgia semata, tetapi nyata. (Teks: Diella Dachlan dari berbagai sumber. Foto: Ng Swan Ti/Dok Cita-Citarum)

[caption id="attachment_121400" align="aligncenter" width="576" caption="Tempat turun perahu di dekat Gua Sanghyangkenit. Photo by Ng Swan Ti/Dok.Cita-Citarum. Lokasi ini sering digunakan untuk berarung jeram."][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline